11 September 2008

MENJADI HUMANIS LEBIH PENTING

Tadi malam, tanggal 10 September 2008, ada acara debat di TV ONE, antara PDS yang bersemangat kristiani dan PKS yang bersemangat islami. Biasalah kalo debat pasti ada perbedaan, walau ada pula titik temu. Yang paling mengesankan saya bukan debatnya namun justru akhir dari debat, yakni saat semua peserta debat dan juru bicaranya saling berpelukan akrab satu dengan yang lain: PKS memeluk PDS, PDS memeluk PKS. Itulah Indonesia.
Panggung debat memang bukan pengalaman harian, yang harian adalah ketika kita turun dari panggung dan bersua satu dengan yang lain sebagai manusia yang memiliki ragam beda. Kita berpelukan dengan siapa saja, tanpa melihat apa agamanya. Pengalaman yang dialami sehari-hari adalah saya seorang Katolik berinteraksi dengan kaum Buddhis, kaum Muslim, kaum Hindhu, dan seterusnya. Saya berjumpa dengan mereka dalam situasi saling mengakui. Itulah kita.
Dalam pengalaman harian, tak ada sekat saya sebagai orang Katolik dengan orang lain yang berbeda agama. Perjumpaan dengan pihak lain tidak dibatasi oleh agama. Saya bebas bertemu dan bergaul dengan siapa saja, apapun agamanya. Dalam tataran harian realitanya seperti itu Yang hidup adalah penghargaan terhadap kemanusiaan universal. Nah, dalam konteks ini, diskusi tentang humanism/bersikap humanis jauh lebih urgent dari pada debat tentang keselamatan yang sahih datang dari agama mana.
Manakala masing-masing agama menonjolkan keselamatannya maka TAK ADA YANG JADI PEMENANG karena semua agama memiliki filsafatnya, kitab sucinya, tradisinya, spiritualitasnya dst. Kepongahan individu dan sifat merasa lebih hebat dari yang lain persis terbalik dengan keluwesan agama yang dianutnya. Dalam agama manapun keluwesan itu menggambarkan kelengkapan. Jangan disangka apa yang kita pikirkan tak ada di pihak lain pada hal kenyataannya ada. Jangan menyangka apa yang dibanggakan sebagai satu-satunya di agama kita padahal di agama lain justru ada pula. Jangan-jangan kita katakan mereka begitu sedangkan kita begini, padahal kenyataanya kita dan mereka sama-sama begini. Lebih dari itu, diskusi tentang keselamatan yang sahih datang dari agama mana menjadi tidak penting karena justru itu yang membuat sekat. Kenapa sekat? Yah, karena masing-masing mau menunjukkan sekat: “ini lho, kami punya lebih mantap. tercatat dalam kitab suci kami. kecap nomor satu.” Lalu apa gunanya sekat dalam masyarakat plural? Tak ada gunanya. Dalam konteks ini, bersikap humanis jauh lebih penting.
Menjadi humanis tak perlu khawatir digerogoti oleh nilai yang mengganggu keberimanan. Menjadi humanis malah mendapat landasan dalam semua agama. Seorang humanis toh tetap menjadi muslim yang baik, kristen yang baik, buddhis yang baik, hinduis yang baik, bahkan humanis atheis sekalipun, dst. Kalau kita menjadi seorang humanis karena penghayatan agama itulah nilai plusnya. Dan, tak ada kontradiksi di dalamnya.

Dalam Hiruk Pikuk Diskusi Keselamatan Di Satu Milis,
Johnson Steffan. D.

Tidak ada komentar: