29 September 2008

Tak Ada Penghuni Neraka

Percayakah anda kepada seseorang yang mengatakan bahwa neraka tak ada penghuninya? Saya sendiri percaya. Lalu, ke mana penghuni neraka? Mereka ada di sekitar kita. Ya, mereka tampil dalam pelbagai wajah. Ia bisa hadir dalam diri karyawan yang menyelewengkan uang perusahaannya, dalam diri pembunuh berwajah tampan, dalam diri wanita cantik yang menggoda suami orang, dst.

Kalau semua penghuni neraka sudah tumplek di sekitar kita, lalu apa gunanya neraka? Ia tetap berguna. Neraka dikosongkan supaya direnovasi sehingga makin layak untuk ditempati kembali.
So, berjaga-jagalah karena sekarang semua penghuni neraka hadir di sekeliling kita. Mungkin itulah maksud William Shakespeare dengan menyatakan: Neraka itu kosong. Semua setan berada di bumi.

Dalam Hening,
Johnson Steffan. D.

Menerima & Membagi Keadilan

Seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.
Cerita yang berumur ribuan tahun ini tampil dalam wajah terkini: seorang teman berbagi pengalaman hidup mengenai fasilitas di perusahaannya. Ia sering “dikeluhkan” atasannya karena fasilitas yang diperoleh melebihi jabatannya. Sayangnya, atasan kawan ini juga mendapat fasilitas yang melebihi apa yang seharusnya ia terima.
Masih banyak bentuk seperti kisah di atas yang parallel kualitasnya dengan pelbagai peristiwa di era sekarang. Semua itu mengingatkan sikap kita terhadap orang lain. Pertanyaan penting: apakah kita sudah berlaku adil terhadap sesama sementara kita memperoleh keadilan dari orang lain?
Dalam Suasana Duka,
Johnson Steffan. D.

15 September 2008

Nilai Rp. 30.000 per Orang

Kehidupan di dunia dikenali awalnya, namun siapa pun tak akan tahu kapan berakhir. Siapa sangka kalau pilek yang menjadi medium kematian. Siapa kira kecelakaan kerja yang merenggut nyawa. Siapa yang menduga kalau bencana alam menghantar berakhirnya hayat di kandung badan. Yang paling terkini, siapa yang menyangka kalau uang sejumlah Rp. 30.000 per orang akan membuat saudara-saudara kita meninggal dunia. Kaum miskin ini tak mengantri untuk maksud menjemput kematian dan mencari derita. Mereka datang untuk mengambil praksis kepercayaan satu keluarga. Mereka datang karena ada nilai di rumah H. Syaichon. Nilailah yang dicari oleh mereka, bukan angka.
Sudah puluhan tahun H. Syaichon memberi zakat kepada masyarakat sekitar melalui acara pembagian langsung tunai kepada kaum miskin. Beliau pasti tak menduga kegiatan sedekahnya dipublikasikan sedahsyat sekarang ini. Kegiatan yang dilangsungkan di rumahnya di Pasuruan ini menjadi buah bibir karena terdapat korban meninggal (melebihi angka dua puluh). Mungkin kalau tidak ada korban maka kebaikan hati sang pemberi zakat tak akan diketahui oleh lebih banyak orang.
Di tengah kegiatan pembagian langsung tunai oleh negara, di tengah berjubelnya kasus korupsi, di tengah aksi terima suap pejabat negeri, kita temukan sosok H. Syaichon yang memberi bantuan langsung tunai kepada sahabat-sahabat yang berkekurangan. Menilik kebiasaan tahunan beliau memberi zakat, kita tak bisa mengelak dari kebenaran bahwa beliau memiliki semangat kedermawanan yang konsisten. Keutamaan tak sama dengan kebiasaan namun keutamaan bisa tumbuh dari kebiasaan. Saya tak ragu menyatakan bahwa beliau memiliki keutamaan hidup.
Saya tak sedang berbicara tentang hukum, saya juga tidak sementara berbicara soal ekonomi, saya juga tidak berfilsafat, saya tak pula berbicara agama namun saya sedang menggarisbawahi satu nilai dari peristiwa Rp. 30.000,- per orang ini: baik korban maupun H. Syaichon sama-sama menularkan dan mencari satu nilai, yakni NILAI SOLIDARITAS. Perhitungan tindakan kedua pihak didasarkan atas nilai yang sama: SOLIDARITAS. Nilai yang bisa saja memudar dalam diri saya. Semoga H. Syaichon, sang peziarah, diberikan jalan yang lapang untuk mengatasi masalah hidup, teristimewa menghadapi peristiwa pembagian zakat tahun ini. Semoga korban meninggal dianugerahi kebahagiaan kekal, setelah perjuangan di dunia. ***

Salam dan Hormat,
Johnson Steffan. D.

14 September 2008

Menyapa Pemikir Sollipsistik

Berhadapan dengan polemik tentang pemikiran orisinil yang menafikan pengaruh pihak lain, saya tergerak untuk mengutip pemikiran salah satu filsuf yang bernama Imre Lakatos. Membedah pemikiran Imre Lakatos kiranya harus dilihat dalam dialog terhadap pemikiran Popper. Terhadap teori falsifikasi yang diajukan Popper sebagai kriteria demarkasi, Lakatos menambahkan bahwa bukan satu teori saja yang difalsifikasi sebagai ilmiah dan tidak ilmiah melainkan rangkaian dari teori-teori. Rangkaian teori-teori itu dihubungkan oleh kontinuitas. Pemikiran ini menghantar Lakatos pada apa yang dinamakan research programmes. Ada dua aturan metodologis dalam program-program riset ini, yaitu:
Heuristik negatif, yaitu aturan program riset yang memberitahukan cara yang harus dihindari.
Heuristik positif, yakni aturan program riset yang memberitahukan cara yang harus dijalani.
Bagi Lakatos, metodologi tersebut sangat penting dalam sejarah ilmu, sebab masalah yang berkaitan dengan logika penemuan tidak dapat dbahas secara tuntas kecuali dalam program-program riset. Masing-masing program riset harus memiliki suatu hipotesis dasar inti yang tak boleh difalsifikasi. Segala observasi data dapat memberi data yang memfalsifikasi bagian tertentu namun bukan memfalsifikasi dasar yang menjadi pokok tersebut.
Metodologi research programmes yang memandang teori-teori sebagai suatu rangkaian merupakan suatu sumbangan positif bagi ilmu pengetahuan. Disebut positif karena Lakatos memberi apresiasi hangat bagi integralitas teori-teori. Bersama Lakatos kita perlu menyangsikan pernyataan bahwa teori tunggal saja yang hendak dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah. Sebab jika hanya satu teori yang harus difalsifikasi maka yang terjadi adalah penumpukan teori-teori yang terfragmentasi setelah lolos falsifikasi. Struktur dan wajah ilmu pengetahuan dibentuk berdasarkan teori-teori lepas. Menjadi tak relevan jika teori tunggal diperhadapkan dengan kenyataa faktual global yang berada dalam relasi influensial.
Dengan mengafirmasikan teori sebagai suatu rangkaian membawa konsekwensi bahwa teori yang dibuang setelah difalsifikasi (Popper) adalah membongkar ilmu pengetahuan sebagai suatu totalitas. Adalah tidak mungkin meruntuhkan ilmu pengetahuan ilmu sebagai keseluruhan hanya karena bagian tertentu saja yang cacat. Maka tak heran Lakatos menyebut adanya inti teori yang lolos dari falsifikasi.Itulah sejarah ilmu yang terangkai sedemikian rupa tanpa suatu diskontinuitas.
Apa yang bisa dipetik dari seorang Lakatos? Kita tak mungkin berada di luar rangkaian teori-teori. Apapun yang kita konsepkan, teorikan, ungkapkan berada dalam pengaruh teori yang telah ada. Teori yang kita kemukakan tak bisa berada dalam sollipsisme. Oleh sebab itu, tak ada konseptor atau apapun namanya mendirikan teori yang tiba-tiba jatuh dari langit.

Dalam Perdebatan Keaslian Pandangan Individu,
Johnson Steffan. D.

11 September 2008

MENJADI HUMANIS LEBIH PENTING

Tadi malam, tanggal 10 September 2008, ada acara debat di TV ONE, antara PDS yang bersemangat kristiani dan PKS yang bersemangat islami. Biasalah kalo debat pasti ada perbedaan, walau ada pula titik temu. Yang paling mengesankan saya bukan debatnya namun justru akhir dari debat, yakni saat semua peserta debat dan juru bicaranya saling berpelukan akrab satu dengan yang lain: PKS memeluk PDS, PDS memeluk PKS. Itulah Indonesia.
Panggung debat memang bukan pengalaman harian, yang harian adalah ketika kita turun dari panggung dan bersua satu dengan yang lain sebagai manusia yang memiliki ragam beda. Kita berpelukan dengan siapa saja, tanpa melihat apa agamanya. Pengalaman yang dialami sehari-hari adalah saya seorang Katolik berinteraksi dengan kaum Buddhis, kaum Muslim, kaum Hindhu, dan seterusnya. Saya berjumpa dengan mereka dalam situasi saling mengakui. Itulah kita.
Dalam pengalaman harian, tak ada sekat saya sebagai orang Katolik dengan orang lain yang berbeda agama. Perjumpaan dengan pihak lain tidak dibatasi oleh agama. Saya bebas bertemu dan bergaul dengan siapa saja, apapun agamanya. Dalam tataran harian realitanya seperti itu Yang hidup adalah penghargaan terhadap kemanusiaan universal. Nah, dalam konteks ini, diskusi tentang humanism/bersikap humanis jauh lebih urgent dari pada debat tentang keselamatan yang sahih datang dari agama mana.
Manakala masing-masing agama menonjolkan keselamatannya maka TAK ADA YANG JADI PEMENANG karena semua agama memiliki filsafatnya, kitab sucinya, tradisinya, spiritualitasnya dst. Kepongahan individu dan sifat merasa lebih hebat dari yang lain persis terbalik dengan keluwesan agama yang dianutnya. Dalam agama manapun keluwesan itu menggambarkan kelengkapan. Jangan disangka apa yang kita pikirkan tak ada di pihak lain pada hal kenyataannya ada. Jangan menyangka apa yang dibanggakan sebagai satu-satunya di agama kita padahal di agama lain justru ada pula. Jangan-jangan kita katakan mereka begitu sedangkan kita begini, padahal kenyataanya kita dan mereka sama-sama begini. Lebih dari itu, diskusi tentang keselamatan yang sahih datang dari agama mana menjadi tidak penting karena justru itu yang membuat sekat. Kenapa sekat? Yah, karena masing-masing mau menunjukkan sekat: “ini lho, kami punya lebih mantap. tercatat dalam kitab suci kami. kecap nomor satu.” Lalu apa gunanya sekat dalam masyarakat plural? Tak ada gunanya. Dalam konteks ini, bersikap humanis jauh lebih penting.
Menjadi humanis tak perlu khawatir digerogoti oleh nilai yang mengganggu keberimanan. Menjadi humanis malah mendapat landasan dalam semua agama. Seorang humanis toh tetap menjadi muslim yang baik, kristen yang baik, buddhis yang baik, hinduis yang baik, bahkan humanis atheis sekalipun, dst. Kalau kita menjadi seorang humanis karena penghayatan agama itulah nilai plusnya. Dan, tak ada kontradiksi di dalamnya.

Dalam Hiruk Pikuk Diskusi Keselamatan Di Satu Milis,
Johnson Steffan. D.

09 September 2008

WAKIL

Akhir-akhir ini ada sejumlah artis yang menjadi calon wakil pemimpin daerah. Ada yang berhasil memenangkan pilkada tetapi ada juga yang kurang beruntung. Salah satu alasan mengapa artis gagal dalam pilkada adalah masyarakat menilai sang artis tak memiliki kompetensi. Posisi wakil memang sangat penting sehingga masyarakat meletakkan ketenaran di barisan sekunder karena pemimpin dan wakil adalah satu tim yang diharapkan membawa kemajuan daerah.
Keberhasilan memang tak pernah lepas dari kelompok, tak lepas dari persekutuan, tak lepas dari komunitas, atau kata lazim: tak lepas dari tim. Memang, seorang pemimpin yang hebat butuh tim untuk kesuksesan kepemimpinannya. Mengapa? Karena, hakekat sosial yang melekat dalam dirinya ditambah lagi dengan keterbatasan menghadapi masalah yang jamak. Artinya, sulit untuk satu kepala memecahkan masalah yang tak tunggal. Memang, bagi seorang pemimpin birokrasi pemerintahan, bukan perkara gampang untuk membentuk tim. Namun, ia bisa membentuk komunitas kecil sebagai “lingkaran dalam”. Di sini, bukan sekadar terdiri dari individu yang punya kedekatan dengan the leader (walaupun itu baik untuk kerja sama) tetapi sekaligus person yang mempunyai keahlian di bidangnya. Seorang CEO yang handal memiliki tim profesional untuk memenej perusahaan ke arah pertumbuhan company yang stabil dan berkembang; seorang pemimpin redaksi yang mantap memiliki tim yang terlatih untuk menjalankan pemberitaan ke arah yang dinamis dan up to date; seorang kepala sekolah yang teruji memiliki tim (wakil-wakil) yang kompeten di bidangnya untuk mengembangkan sekolahnya; begitulah seorang pemimpin pemerintahan yang berhasil memiliki tim yang ahli di bidang-bidang birokrasi untuk membangun daerah/negara.
Sekarang, apakah dengan memiliki tim yang lengkap, seorang pemimpin pemerintahan akan menyelesaikan semua masalah? Tentu, tidak mudah. Namun, sekurang-kurangnya tim tersebut membantu memecahkan masalah-masalah penting, isu-isu utama, kepentingan-kepentingan global, problem-problem besar. Lalu bagaimana masalah detail sampai ke tingkat rendah? Subsidiaritas dan delegasilah yang dijalankan oleh sang pemimpin.
Dengan adanya tim, akan kelihatan calon pemimpin yang benar-benar siap bertarung atau hanya bertarung dalam pilkada demi meramaikan suasana. Kelihatan pula keseriusannya dalam merangkul siapa saja yang ahli di bidangnya, bukan sekadar asal comot, apalagi “perekrutan” oleh karena faktor keluarga semata (nepotis bengkok) atau hanya karena faktor ketenaran atau alasan lain yang tak masuk akal. Tim yang benar-benar ahli memiliki peran penting dalam mengembangkan suatu daerah. “Tim” paling dekat dan kentara dari seorang calon pemda mulai terlihat dari calon wakilnya. Wakil adalah orang yang berpengaruh dalam menentukan pengembangan daerah, khususnya dalam level kebijakan dan keuputusan-keputusan daerah.
Dunia politik memang tidak sederhana untuk menyatukan sosok pemimpin dan sosok wakil namun jika bertujuan luhur untuk meraih kekuasaan demi rakyat maka taruhannya bukan sekadar mencari wakil dari kalangan artis yang minim pengetahuan dan pengalaman. Namun segera ditambahkan niat luhur para selebritis kita untuk membangun daerah patut dihormati, apalagi sudah rela untuk hanya menjadi orang kedua. Banyak orang mau jadi nomor satu saja namun sedikit mau jadi nomor kedua padahal posisi-posisi itu sama tujuannya: pelayanan untuk KEPENTINGAN bersama.

Dalam Hiruk Pikuk Pilkada
Johnson Steffan D.

05 September 2008

Manusia dan Proyeksi dalam Dunia

Manusia dalam konteks heideggerian dipahami sebagai ia yang berada di sana (Dasein). Keberadaan manusia di sana bukanlah sesuatu yang dipilih melainkan sesuatu yang ditentukan oleh faktisitas manusia. (Fakstisitas adalah suatu keadaan atau kenyataan yang diterima tanpa suatu pilihan.) Faktisitas dapat dilukiskan sebagai dimensi kebendaan. Faktisitas dapat diartikan sebagai dimensi kebendaan itu yang membuat manusia senasib dengan apa yang kita maksudkan sebagai “riil” atau “yang berhubungan dengan benda”. Namun segera harus ditambahkan manusia diperhadapkan dengan berbagai kemungkinan untuk berada (possibility for being). Kemungkinan untuk berada itu dimengerti dalam konteks kemampuan manusia untuk memenuhi dan mengutuhkan keberadaannya.
Keterlemparan atau keberadaan di sana memang adalah suatu yang ditentukan namun manusia mampu berbuat sesuatu untuk mengatasi keterlemparannya itu. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa manusia mempunyai dalam dirinya sejumlah kemungkinan dan kemampuan untuk berada. Subyek sebagai “aku yang mampu” dapat mewujudkan proyek-proyek di mana ia dapat merealisasikan eksistensinya. Proyek-proyek itu merupakan cara berada paling azasi dari manusia. Sebab melalui proyek itu manusia mewujudkan kemungkinan untuk berada melebihi benda.Dengan demikian subyek manusia ditandai faktisitas dan transendensi. Sebagai faktisitas, manusia berada dan dibatasi oleh keadaan dan situasinya. Sebagai transendensi, manusia mampu mengubah situasi itu atau menerimanya. Namun demikian transedensi tidak bersifat mutlak karena manusia tidak pernah “tanpa faktisitas”.
Salah satu unsur penting dalam Desein adalah dunia. Manusia tidak berada dalam dirinya sendiri, ia berada dalam ruang (space). Ruang itulah dunia. Dalam dunia itu manusia mewujudkan keberadaanya lewat cara beradanya (proyeksi). Selamat berproyeksi.

Mengucapkan Terima Kasih

Pada suatu event tertentu, seseorang mewakili pimpinannya memberikan kata sambutan. Saya mengenal pimpinan beliau selalu mengucapkan terima kasih kepada semua pihak jika menyampaikan sambutan dalam momen seperti ini, termasuk ucapan terima kasih kepada panitia yang telah bekerja menyelenggarakan acara. Namun, beliau yang mewakili pimpinan tadi tak berterima kasih kepada satu pihak pun, bahkan tak berterima kasih kepada pemilik tempat diselenggarkan acara. Saya melihat orang yang sama amat kusyuk berdoa ketika acara sudah sampai pada bagian akhir.
Saya bangga dengan orang ini karena beliau mungkin berterima kasih kepada Tuhan atas terselanggaranya acara. Cuman saya perlu bertanya: apakah terima kasih kepada Tuhan sudah cukup, tanpa harus berterima kasih secara konkret kepada kawan-kawannya? Kiranya relasi baik dengan Tuhan menjadi imperative dibuktikan dalam relasi dengan sesama.
Kita tak bisa mempersalahkan orang yang mewakili pimpinan tadi, karena beliau berbeda dengan pimpinannya; bisa saja beliau grogi karena tak terbiasa berbicara di depan masa; bisa saja juga ia terpesona oleh pujian yang sementara terarah kepada instansinya (dalam hal ini terarah kepadanya); bisa saja ia lupa dengan kawan-kawan yang mendukung terselenggaranya acara karena sanjungan pembawa acara yang sedemikian tinggi sehingga dunia hanya terdiri dari beliau dan cahaya terang benderang (yang lain tak kelihatan gitu lho).
Fenomena ini mengingatkan saya sendiri yang sering tak bersyukur atas rahmat melimpah dari Sang Pemilik Hidup. Saya sering tak berterima kasih atas rejeki yang datang dari Tuhan melalui siapa saja yang menjadi saluran kasihNya. Ungkapan terima kasih memang tak perlu diucapkan jika sekadar basa-basi. Namun lebih baik disampaikan apalagi ketulusan sedang berbicara dari inner core. Mungkin Tuhan tersenyum manakala kita berterima kasih kepada-Nya melalui manusia di sekitar kita.

Dalam Terik Matahari,
Johnson Steffan. D.