19 Juli 2009

Merencanakan Masa Depan

Hari esok yang hendak menyusul hari ini mendatangi kita tanpa diundang. Ia menyejarah dalam hidup tanpa perlu persetujuan sebelumnya. Manakala kita di masa sulitpun ia tetap hadir sebagai suatu kebenaran yang harus dihadapi. Hanya ada satu kata untuk masa depan, yaitu rencana. Berbicara mengenai rencana berarti mengatur kekinian untuk hari-hari menyusul. Hari ini diciptakan suatu rencana sedemikian rupa untuk kepentingan sekarang sekaligus untuk hari-hari yang akan datang. Hari ini dibangun pelbagai strategi yang tepat sehingga saat berhadapan dengan masalah manusia bukan hanya siap menghadapinya melainkan juga menyelesaikannya dengan tepat.
Masa depan akan menyapa kita, terlebih menyapa kelompok yang dinominalkan sebagai generasi muda. Mereka hadir dalam masa kini sebagai potensialitas sekaligus aktualitas. Generasi muda menjadi sahabat dan tim kita untuk membangun strategi menghadapi aksioma-aksioma kehidupan untuk dijadikan realitas yang pantas diubah menuju suatu peradaban lebih maju dan luhur. Irama kaum muda perlu diikuti dengan cermat seraya memberikan pilihan-pilihan kepada mereka untuk memutuskan sikapnya berhadapan dengan kenyataan dunia. Mereka perlu ditemani bukan berlandaskan kesangsian akan potensi mereka melainkan antara lain karena hakekat manusia sebagai makhluk social.
Masa depan bukan sekadar besok hari apa-tanggal berapa-tahun sekian namun masa depan berisi kenyataan ekonomis, politik, budaya atau lebih singkat dinamakan totalitas kehidupan. Bagaimana kita merencanakan masa depan? Jawabannya ada dalam bidang-bidang kehidupan. Jika kita mengehendaki masa depan ekonomi berkembang maka hari ini dipancanglah tiang ekonomi strategis. Bilamana kita mengehendaki masa depan politik yang matang maka dibangunlah suatu proses politik yang dewasa. Begitu seterusnya. Pertanyaannya: bagaimana konkretnya? Jawabanya ada dalam kompleksitas yang ada pada hari-hari lalu dan kini. Satu hal terakhir: rencana bukan hanya ide melainkan terutama tindakan. ***

Salam dan Hormat,
Johnson Steffan. D.

18 Juli 2009

Tuhan Tak Maha Kuasa?

Pertanyaan di atas kujawab dengan penuh keyakinan, bahkan dengan suara lantang: “YA, Tuhan tak maha kuasa”. Pasti kaum teis akan menganggapku manusia paling tak beradab, orang gila, penganut ateis, pribadi tak toleran dan pelbagai macam predikat untuk diri ini. Saya tentu sangat menerima semua label yang dikenakan untukku karena jawaban tak lazim tadi. Dalam dunia yang positivis, empiris, logis, matematis, ekonomis, filosofis dan seterusnya jawaban ini tentu hal biasa manakala dilihat apa yang menjadi alasan keyakinan “ya” tesebut.

Menurut saya, kemahakuasaan Tuhan sebenarnya hanya ada dalam kitab-kitab suci. Anda tentu sangat mampu membuktikan betapa kemahakuasaan Tuhan itu hanya suatu berita suci yang diperoleh dari pendahulu kita. Mengapa Tuhan tak maha kuasa? Manusialah yang menciptakan sosok Tuhan tak berkuasa. Koq bisa? Bisa saja. Coba kita lihat dari keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan dan praksis kita. Katanya, Tuhan maha kuasa namun kita sendiri membatasi kekuasaan Tuhan hanya dalam agama kita. Kadang kita berpikir/bersikap bahwa Tuhan sebenarnya hanya bekerja dalam agama kita sementara agama lain Tuhan tidak bekerja. Dengan kata lain, kebenaran absolute hanya ada dalam agama kita karena Tuhan bekerja di dalamnya. Nah, bayangkan saja betapa tak ada kuasanya Tuhan itu dalam suatu keyakinan terpegang teguh hanya karena ada agama lain berbeda dengan kita. Masa sih Tuhan hanya bekerja dalam agama kita? Betapa lemahnya Tuhan kayak gitu. Inilah kekonyolan yang kadang kita hidupi dalam keyakinan dan keseharian kita. Now, jika kita mampu menghargai dan menerima bahwa Tuhan juga menganugerahkan kebenaran dalam agama orang lain maka saat ini pula kita mengakui betapa Tuhan itu maha kuasa. Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan “apakah Tuhan tak maha kuasa” adalah “TIDAK, TUHAN SUNGGUH MAHA KUASA”.

Kasus lain. Kita menyatakan bahwa Tuhan maha kuasa atas diri ini namun kenyataanya Tuhan tak maha kuasa lagi. Mengapa? Karena panggilan Tuhan untuk (misalnya) menjalankan kewajiban agama dikalahkan oleh hal peripheral seperti hobi. Contoh: jam sekian kewajiban agama mengharuskan kita untuk beribadat namun kita lebih memilih mancing ikan, main badminton, ngumpul dengan teman-teman dan seribu satu macam hobi lain. Nah, manakala kita meletakkan hobi di bagian sekunder dan memposisikan kewajiban beragama di posisi tertinggi maka TUHAN SUNGGUH MAHA KUASA.

Pertanyaan terakhir: apakah Tuhan maha kuasa ada dalam keputusan harian kita? Silakan kita menjawabnya. Namun, tanpa keputusan kita pun, TUHAN TETAP SUNGGUH MAHA KUASA. ***

Salam dan Hormat,
Johnson Steffan. D.

16 Juli 2009

Selamat HUT Yayangku


Ketika saya bangun pagi, anakku sudah duduk manis di depan kue ultah yang dibuat istri. Hari ini istriku bangun lebih pagi dari biasanya untuk mempersiapkan kue tersebut. Oh, Ririn, putriku yang cantik, selamat hari ulang tahun ya.

In Love,
Una + Fianti

08 Juli 2009

Hiduplah Indonesia Raya


Hari ini, 8 Juli 2009, Indonesia melaksanakan lagi pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden. Sampai detik kutulis kata terakhir ini, suasana negeri sangat damai, sekurang-kurangnya situasi sekitarku dan pancaran alam yang menembus intuisiku. Luar biasa, kedamaian pemilu ini menunjukkan peradaban tingkat tinggi yang dimiliki Indonesia. Hiduplah Indonesia Raya.