09 Juli 2008

DESCARTES MEMBUKTIKAN EKSISTENSI TUHAN


Rene Descartes, seorang filsuf Perancis modern pernah berkeyakinan, bahwa rasio in se mampu mencapai kebenaran yang pasti. Kebenaran itu hanya bisa diperoleh bilamana kita menggunakan metode yang tepat. Kesangsian. Itulah metode yang dikemukakan sang filsuf. Menurut Descartes, kesangsian harus dijalankan secara radikal. Dengan radikal yang dimaksud, bahwa kesangsian meliputi segala pengetahuan yang dimiliki, bahkan kita harus sangsi terhadap kebenaran yang dianggap akurat dan pasti.
Pertanyaan yang pantas dikemukakan: “apakah Tuhan sungguh-sungguh bereksistensi , mengingat kesaksian yang datang dari luar harus juga disangsikan?’ Jika mengikuti alur pemikiran Descartes maka untuk menjawab pertanyaan tersebut harus berawal dari pertanyaan ini: adakah realitas yang lolos dari kesangsian metodis? Descartes menjawab: subyek yang menyangsikan itulah yang tak dapat disangsikan. Maka masyurlah ungkapan: saya berpikir, karena itu saya ada. Subyek yang berpikir (cogito) itulah kebenaran yang tegas dan pasti. Konsep cogito itulah yang bisa membuktikan secara akurat eksistensi Tuhan. Descartes lalu menganalisis ide-ide dalam rasio manusia. Berikut ini, dua cara Descartes membuktikan eksistensi Tuhan, yakni secara epistemologis dan ontologis.
Pertama, secara epistemologis. Descartes menyatakan, bahwa dalam rasio manusia terdapat ide-ide yang ditanamkan sejak kelahiran subyek. Ide ini disebut sebagai ide bawaan, yang terbagi tiga:
· Ide pemikiran, yaitu ide yang memungkinkan saya sadar bahwa saya berpikir.
· Ide keluasan, yaitu ide yang memungkinkan saya mengerti segala sesuatu yang mempunyai luas atau ekstensi.
· Ide kesempurnaan, yaitu ide tentang yang sempurna.
Ide yang disebut terakhir itulah yang memungkinkan saya berpikir tentang YANG SEMPURNA, TUHAN. Selanjutnya Descartes memakai prinsip kausalitas dalam usaha membuktikan eksistensi Tuhan. Bahwa sesuatu tidak muncul dari ketiadaan, demikian juga ide kesempurnaan mesti ada penyebab sempurna. Sampai di sini, kita mungkin bertanya: bagaimana eksistensi Tuhan bisa dibuktikan? Menurut Descartes, karena rasio mengandung ide kesempurnaan maka kesempurnaan itu harus memiliki eksistensi actual. Sebab tidak mungkin Tuhan hanya menurunkan ide kesempurnaan sedangkan KESEMPURNAAN sendiri tidak bereksistensi. Dengan argumen ini Desacartes lalu sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan sungguh-sungguh bereksistensi.
Kedua, secara ontologis. Descartes berangkat dari Tuhan adalah sempurna. Karena Tuhan adalah sempurna maka kesempurnaan-NYA mencakup juga eksistensi-NYA. Eksistensi Tuhan adalah salah satu dari kesempurnaan-NYA, sehingga Tuhan tidak sempurna bila tidak bereksistensi.
Pemikiran brilian filsuf ini memang patut dibanggakan, sebab kita makin diyakinkan bahwa eksistensi Tuhan bukanlah khayalan kaum beragama melainkan suatu kebenaran yang bisa dijelaskan secara rasional. Segera harus ditambahkan bahwa perlulah kita juga kritis terhadap pemikiran filosofis ini. Descartes memang menaruh penghargaan yang luar biasa terhadap kekuatan rasio manusia, sebagaimana ditunjukkan bahwa cogito menjadi landasan pencarian kebenaran melalui analisis ide-ide. Namun mengandalkan rasio secara berlebihan akan menciptakan keidakseimbangan dalam diskursus tentang eksistensi Tuhan.
Descartes lupa bahwa saya yang berpikir (cogito) bukan sekadar rasio, tapi saya yang berperasaan, berdarah, berdaging, dan berpengalaman. Pengalaman juga mampu memberikan sumbangan bagi pembuktian eksistensi Tuhan. Hanya dengan menguraikan ide-ide dalam membuktikan eksistensi Tuhan belumlah seimbang. Kebenaran tidak hanya berdasarkan kritik rasional (=ide-ide) semata tetapi juga ditemukan dalam rangkaian pengalaman. Pembuktian rasio harus juga diseimbangkan dengan pembuktian dari pengalaman. Rasio dan pengalaman jika digabungkan akan menjadi kekuatan untuk membuktikan eksistensi Tuhan.
Catatan terakhir: walaupun pembuktian-pembuktian logis dari rasio dan pengalaman diungkapkan namun satu hal yang pasti bahwa ungkapan-ungkapan itu hanya menyatakan secara kurang sempurna eksistensi Tuhan. Mungkin saja terdapat penjelasan yang sungguh-sungguh rasional dan suatu eksplanasi yang berangkat dari pengalaman tentang eksistensi Tuhan, namun bila semua itu dihadapkan pada KESEMPURNAAN TUHAN maka semua rumusan konseptual itu tetap jauh dari kesempurnaan.

Dalam Keheningan,
Johnson Steffan. D.

04 Juli 2008

02 Juli 2008

Pala




Di bawah pohon-pohon pala.

01 Juli 2008

Berserah Kepada Tuhan

Ingatlah dan berserahlah selalu kepada Tuhan.
Hari itu doa khusuk dipanjatkan oleh seorang muslim yang saya kenal. Mulutnya mengumandangkan adzan sebagai pembuka prosesi budaya Tidung (Tarakan, Kal.Tim) untuk menolak kemalangan. Sebelum upacara dimulai, seorang tokoh adat mengharapkan agar melalui doa yang dipanjatkan bangsa ini dihindarkan dari segala peristiwa menyedihkan sebagaimana dialami bangsa ini: kecelakaan di laut-udara-darat.
Sebagai pendatang di bumi Paguntaka, saya diberikan kesempatan lagi untuk menikmati betapa mengagumkan dan dinamis yang namanya kebudayaan. Dari seluruh rangkain upacara itu saya diingatkan betapa kehidupan sendiri mengajarkan banyak kebijaksanaan. Upacara tersebut mengajarkan lagi filsafat hidup.
Seorang Aristoteles pernah memproklamirkan secara filosofis nilai manusia dengan pernyataan kesohor: “manusia adalah makhluk berakal budi”. Di tanah Tidung afirmasi filosofis terhadap nilai dan martabat manusia itu kentara dalam tindakan. Seorang Cassirer yang mengatakan manusia sebagai makhluk simbolik dan dalam masyarkat Tidung pelbagai symbol adat indah dimiliki sejak para leluhur. Kalau kita menelisik Filsuf lain, ada pula yang pernah menyatakan manusia sebagai makhluk berpikir, di Juata penegasan itu ada dalam kehidupan. Di samping semua itu, ada penegasan teoretis lain yang mencuatkan nilai eksistensi manusia, yakni manusia sebagai makhluk berbudaya. Sebagaimana semua kebudayaan di bumi, di tanah Tidung budaya adalah bagian integral dari kehidupan.
Dengan kebudayaan manusia menciptakan lingkungan sosial yang baik. Melalui kebudayaan manusia mengatur diri, sosialitas, alam fisik dan dalam hubunganya dengan Sang Kuasa. Tujuan yang hendak dicapai dari progresivitas kebudayaan antara lain berkembangnya manusia untuk semakin lebih mulia. Sikap masyarakat Tidung terhadap budaya tidak berjarak dengan dirinya. Budaya memang dihidupi sebagai hati nurani sehingga yang pelihara sedangkan pelanggaran terhadap kebudayaan menjadi peristiwa yang negatif. Biasanya, yang namanya kebudayaan memuat kebiasaan (mores) yang dalam praktek dialami sebagai sesuatu yang berguna, yang perlu, yang diserahalihkan dari generasi ke generasi demi kesejahteraan dan kedamaian masyarakat, teristimewa demi hubungan penuh sembah kepada Sang Pencipta.
Umumnya, ideal dalam kebudayaan terjadi dalam tiga tataran, yaitu harmoni yang bercorak kosmik, social, dan transcendental. Finalitas perbuatan budaya yang berhubungan dengan kosmos dapat dijelaskan secara negative bahwa penolakan terhadap harmoni alam mendatangkan malapetaka kosmik. Penolakan terhadap harmoni social menimbulkan instabilitas social. Pelanggaran terhadap kehendak Tuhan mengakibatkan penderitaan manusia dalam wujud pelbagai kemalangan. Dengan demikian motivasi perbuatan budaya bukan sekadar memenuhi ideal antropos tapi juga tataran metafisik. Tataran yang disebut terakhir itu begitu kental dalam masyarakat Tidung. Itulah filsafat hidup yang kiranya penting untuk diteladani dan dihidupkan oleh generasi manapundan budaya apa saja. Apa yang saya tulis ini tentu sekadar catatan kaki dari kenyataan lebih dalam mengenai kebudayan Tidung.
Ketika tokoh adat memberikan pengantar dalam upacara yang disebutkan di atas bahwa aksi adat ini diintensikan untuk bangsa yang sedang mengalami pelbagai peristiwa sedih, saya pun terpesona oleh keluhuran maksud upacara tersebut. Betapa mengagumkan pehatian masyarakat Tidung terhadap bangsa ini. Solidaritas itu bukan hanya dalam hal materi melainkan juga dalam kebenaran rohani. Istimewanya lagi solidaritas ini dipancarkan dari tempat bernama Juata Laut, Tarakan, Kal.Tim., tempat mana tak pernah mempublikasikan diri ke seantero negeri untuk memperkenalkan keluhurannya. Namun dalam keheningannya itu masyarakat Tidung mengajarkan solidaritas. Suatu solidaritas yang menyuratkan kebenaran fundamental dan essensial ini:

Ingatlah dan berserahlah selalu kepada Tuhan.

In Solidarity,
Johnson Steffan. D.