01 Juli 2008

Berserah Kepada Tuhan

Ingatlah dan berserahlah selalu kepada Tuhan.
Hari itu doa khusuk dipanjatkan oleh seorang muslim yang saya kenal. Mulutnya mengumandangkan adzan sebagai pembuka prosesi budaya Tidung (Tarakan, Kal.Tim) untuk menolak kemalangan. Sebelum upacara dimulai, seorang tokoh adat mengharapkan agar melalui doa yang dipanjatkan bangsa ini dihindarkan dari segala peristiwa menyedihkan sebagaimana dialami bangsa ini: kecelakaan di laut-udara-darat.
Sebagai pendatang di bumi Paguntaka, saya diberikan kesempatan lagi untuk menikmati betapa mengagumkan dan dinamis yang namanya kebudayaan. Dari seluruh rangkain upacara itu saya diingatkan betapa kehidupan sendiri mengajarkan banyak kebijaksanaan. Upacara tersebut mengajarkan lagi filsafat hidup.
Seorang Aristoteles pernah memproklamirkan secara filosofis nilai manusia dengan pernyataan kesohor: “manusia adalah makhluk berakal budi”. Di tanah Tidung afirmasi filosofis terhadap nilai dan martabat manusia itu kentara dalam tindakan. Seorang Cassirer yang mengatakan manusia sebagai makhluk simbolik dan dalam masyarkat Tidung pelbagai symbol adat indah dimiliki sejak para leluhur. Kalau kita menelisik Filsuf lain, ada pula yang pernah menyatakan manusia sebagai makhluk berpikir, di Juata penegasan itu ada dalam kehidupan. Di samping semua itu, ada penegasan teoretis lain yang mencuatkan nilai eksistensi manusia, yakni manusia sebagai makhluk berbudaya. Sebagaimana semua kebudayaan di bumi, di tanah Tidung budaya adalah bagian integral dari kehidupan.
Dengan kebudayaan manusia menciptakan lingkungan sosial yang baik. Melalui kebudayaan manusia mengatur diri, sosialitas, alam fisik dan dalam hubunganya dengan Sang Kuasa. Tujuan yang hendak dicapai dari progresivitas kebudayaan antara lain berkembangnya manusia untuk semakin lebih mulia. Sikap masyarakat Tidung terhadap budaya tidak berjarak dengan dirinya. Budaya memang dihidupi sebagai hati nurani sehingga yang pelihara sedangkan pelanggaran terhadap kebudayaan menjadi peristiwa yang negatif. Biasanya, yang namanya kebudayaan memuat kebiasaan (mores) yang dalam praktek dialami sebagai sesuatu yang berguna, yang perlu, yang diserahalihkan dari generasi ke generasi demi kesejahteraan dan kedamaian masyarakat, teristimewa demi hubungan penuh sembah kepada Sang Pencipta.
Umumnya, ideal dalam kebudayaan terjadi dalam tiga tataran, yaitu harmoni yang bercorak kosmik, social, dan transcendental. Finalitas perbuatan budaya yang berhubungan dengan kosmos dapat dijelaskan secara negative bahwa penolakan terhadap harmoni alam mendatangkan malapetaka kosmik. Penolakan terhadap harmoni social menimbulkan instabilitas social. Pelanggaran terhadap kehendak Tuhan mengakibatkan penderitaan manusia dalam wujud pelbagai kemalangan. Dengan demikian motivasi perbuatan budaya bukan sekadar memenuhi ideal antropos tapi juga tataran metafisik. Tataran yang disebut terakhir itu begitu kental dalam masyarakat Tidung. Itulah filsafat hidup yang kiranya penting untuk diteladani dan dihidupkan oleh generasi manapundan budaya apa saja. Apa yang saya tulis ini tentu sekadar catatan kaki dari kenyataan lebih dalam mengenai kebudayan Tidung.
Ketika tokoh adat memberikan pengantar dalam upacara yang disebutkan di atas bahwa aksi adat ini diintensikan untuk bangsa yang sedang mengalami pelbagai peristiwa sedih, saya pun terpesona oleh keluhuran maksud upacara tersebut. Betapa mengagumkan pehatian masyarakat Tidung terhadap bangsa ini. Solidaritas itu bukan hanya dalam hal materi melainkan juga dalam kebenaran rohani. Istimewanya lagi solidaritas ini dipancarkan dari tempat bernama Juata Laut, Tarakan, Kal.Tim., tempat mana tak pernah mempublikasikan diri ke seantero negeri untuk memperkenalkan keluhurannya. Namun dalam keheningannya itu masyarakat Tidung mengajarkan solidaritas. Suatu solidaritas yang menyuratkan kebenaran fundamental dan essensial ini:

Ingatlah dan berserahlah selalu kepada Tuhan.

In Solidarity,
Johnson Steffan. D.

Tidak ada komentar: