30 Juni 2008

Calon Pemimpin Daerah Yang Terindikasi Bermasalah

Pernah suatu kesempatan seorang teman menyerukan secara tajam untuk tidak mencalonkan seseorang menjadi pemimpin daerah tertentu karena menurut beliau calon tersebut bermasalah secara hukum. Seruan yang dikemukakan oleh kawan ini menyangkut proaksi terhadap kenyataan yang tak diinginkan oleh siapapun. Jangan-jangan selama 5 tahun, pemerintahan akan dipimpin oleh seorang Plt doang. Bayangkan ruwetnya proses pengangkatan Plt dan pejabat definitif. Eh, ada daerah yang pemdanya dipimpin oleh plt bertahun-tahun dan dilantik jadi pejabat definitif cuman untuk beberapa bulan (karena korupsilah). Kalau pemimpinnya dibui setelah beberapa bulan memerintah maka daerah akan sibuk mengurus orang itu dari pada focus pada kepentingan banyak orang. Dengan demikian, daerah bukan hanya berjalan di tempat tapi berjalan mundur. Manakala daerah kita kian tertinggal dari daerah lain, pada waktu itulah kita perlu menertawakan diri kita. Saya pernah dipermalukan oleh teman ketika saya sering telat tentang pengetahuan teknis tertentu. Teman itu sampai bilang: eh, nenek moyangmu bergelantungan di pohon ya pada waktu para filsuf Yunani kuno berteori? So, pemimpin yang dalam pengamatan kita bermasalah memang perlu dipertimbangkan secara serius untuk tidak dicalonkan.
Di samping itu, ada juga kenyataan yang perlu diingat, yaitu: providentia divina. Nah, calon pemimpin yang dinilai bermasalah oleh kita perlu diserahkan kepada penyelenggaraan ilahi, karena: jangan-jangan justru dialah yang menjawab kebutuhan masyarakat; jangan-jangan penyelenggaran ilahi untuk perubahan dan perkembangan ada di tangan orang itu. Kedengaran klise atau konyol atau fatalistik. Namun, iman tak juga aneh jika diduetkan dengan politik karena keduanya bertujuan luhur. Kalau beta tak keliru, sejarah penyelamatan dalam kekristenan (dan pendapat ini tak mewakili keristenan) melibatkan proses politik yang tak bersih (Herodes n kawan-kawan), melibatkan pelacur kelas kakap (yang benar-benar basah – Maria Magdala), melibatkan ekonom yang kotor n nekatan (Yudas Iskariot), melibatkan orang pajak yang nyaris tak ada yang jujur (Matius n teman-temannya), melibatkan orang-orang gila hormat (Petrus, Yakobus n Yohanes), dst.... Namun, bisa saja calon yang terindikasi bermasalah adalah benar-benar sosok bersih seperti Sta. Thresa dari Kalkuta, cuman mungkin kita keliru menilai. Ah, beta seperti pengkhotbah yang tak ada jemaatnya.
Lalu bagaimana kita memposisikan diri? Paradoksi.
Terakhir, berdoa adalah kata purba namun tidak diragukan efektivitasnya dari sudut pandang Tuhan. Untuk itu, mari selalu berdoa secara sungguh-sungguh untuk daerah-daerah yang menghadapi pilkada dan untuk calon pemimpin kita.

Pro Bono Publico,
Johnson Steffan.D.

25 Juni 2008

Persaudaraan

Ketika saya masih SD, ada seorang perantau yang selalu diizinkan ibu saya untuk memakai ruang di lantai dua, di rumah kami. Ia berada di sana hanya beberapa saat lalu ia turun lagi. Saya bertanya kepada ibuku, “Ngapain dia di atas?" Kata ibuku, "Solat". Karena tak pernah mendengar kata itu (maklum di kampungku tak ada orang muslim), saya bertanya lagi kepada ibu, "Apa itu Solat?" Kata Ibuku, "Berdoa". Lalu ibuku menambahkan, "Terimalah dengan baik semua perantau karena suatu saat kamu akan menjadi perantau."

Belasan tahun kemudian, saya menjadi perantau dan banyak dibantu oleh orang muslim: saya bisa bekerja antara lain karena difasilitasi oleh seorang muslim, saya mendapat tempat tinggal karena seorang haji, saya menikah dibantu oleh seorang muslim (sahabatku), pekerjaan saya banyak didukung oleh orang muslim dan masih banyak kenyataan luar biasa lain.

Oh…. Indahnya rahmat persaudaraan……

dalam keheningan,
Johnson Steffan. D.

20 Juni 2008

Ikan Besar


Panjang ikan ini: kira-kira 160 cm dan berat kira-kira 37 kg. Ikan besar ini (saya tak tahu namanya) ditangkap oleh nelayan di salah satu pantai di Tarakan - Kal.Tim.

19 Juni 2008

Penerima Suap Dan Penerima BLT


Penerima Suap (Pejabat) dan Penerima BLT (Kaum Miskin)

Ada dua realitas kontradiktif yang menjadi berita utama media cetak dan elektronik negeri ini: melimpahnya penerima bantuan langsung tunai (BLT) di satu pihak dan penerima suap di sisi lain. Yang satu digolongkan miskin, sementara yang lain tergolong strata teras negeri. Tanpa mendahului keputusan hakim di pengadilan, negeri ini tak bisa ingkar dari kenyataan pejabat yang menerima suap. Perkembangan sebagian penegak hukum kita belum ditandai oleh tujuan keadilan dalam praksisnya. Perilaku para penggembala hukum banyak menghayati ketidakadilan dalam masa kekuasaannya.
Di samping tingkah menerima suap punggawa hukum itu, terdapat kenyataan lain yang memilukan, yakni para penerima BLT. Kaum miskin yang berhak atas uang tadi namu justrun dipermainkan oleh mereka yang disebut para pengawal hukum. Ah, suatu kenyataan yang amat pahit. Kaum miskin memang lebih banyak dijadikan obyek oleh penguasa (entah saat kampanye maupun saat berkuasa). Bisa saja, mereka jadi obyek penelitian kaum intelektual untuk skripsi/tesisnya semata tanpa terus mendampingi dan mengembangkan mereka. Tragis.
Kiranya kita perlu bertanya, apa yang bisa menghubungkan penerima suap dan penerima BLT? Solidaritas. Semangat solidaritas itulah yang memudar dalam diri sang penerima suap. Oleh sebab itu, para pejabat perlu menghidupkan kembali semangat tersebut dalam dirinya. Solidaritas akan membawa konsekwensi positif dalam seluruh kebijakan dan pola bersikap para pejabat. Konsekwensi yang dimaksud antara lain pejabat akan berdiri bersama dengan orang lain, terutama masyarakat miskin; Kebijakan-kebijakan yang diambil akan menggambarkan semangat solider terutama kepada kaum miskin yang melimpah di negeri ini; Uang Negara akan berusaha dicari, jika dicuri oknum tertentu; Suap menjadi tabu untuk dihayati, apalagi dijalani, mengingat kaum miskin yang lebih berhak menerimanya. Intinya: mencari keuntungan diri sendiri akan dijauhkan.
Menurut Erich Fromm, kecenderungan mencari keuntungan untuk diri sendiri disebut sebagai orientasi menimbun. Dalam orientasi seperti itu manusia menjadi budak materi sehingga menjadikannya asing sebagai manusia. Manusia menimbun adalah manusia yang terbelenggu oleh egosentrisme yang merugikan baik bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. Hakikat sosial dan kenyamanan diri yang paling dalam terganggu, bahkan mengerdil. Dalam mengembangkan diri, manusia memang harus bersama dengan orang lain/masyarakat, terutama kaum miskin. Mengapa? Karena bersama orang lain, manusia akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Mau bukti? Bersamalah selalu dengan kaum miskin.
In Solidarity,
Johnson Steffan. D.