19 Juni 2008

Penerima Suap Dan Penerima BLT


Penerima Suap (Pejabat) dan Penerima BLT (Kaum Miskin)

Ada dua realitas kontradiktif yang menjadi berita utama media cetak dan elektronik negeri ini: melimpahnya penerima bantuan langsung tunai (BLT) di satu pihak dan penerima suap di sisi lain. Yang satu digolongkan miskin, sementara yang lain tergolong strata teras negeri. Tanpa mendahului keputusan hakim di pengadilan, negeri ini tak bisa ingkar dari kenyataan pejabat yang menerima suap. Perkembangan sebagian penegak hukum kita belum ditandai oleh tujuan keadilan dalam praksisnya. Perilaku para penggembala hukum banyak menghayati ketidakadilan dalam masa kekuasaannya.
Di samping tingkah menerima suap punggawa hukum itu, terdapat kenyataan lain yang memilukan, yakni para penerima BLT. Kaum miskin yang berhak atas uang tadi namu justrun dipermainkan oleh mereka yang disebut para pengawal hukum. Ah, suatu kenyataan yang amat pahit. Kaum miskin memang lebih banyak dijadikan obyek oleh penguasa (entah saat kampanye maupun saat berkuasa). Bisa saja, mereka jadi obyek penelitian kaum intelektual untuk skripsi/tesisnya semata tanpa terus mendampingi dan mengembangkan mereka. Tragis.
Kiranya kita perlu bertanya, apa yang bisa menghubungkan penerima suap dan penerima BLT? Solidaritas. Semangat solidaritas itulah yang memudar dalam diri sang penerima suap. Oleh sebab itu, para pejabat perlu menghidupkan kembali semangat tersebut dalam dirinya. Solidaritas akan membawa konsekwensi positif dalam seluruh kebijakan dan pola bersikap para pejabat. Konsekwensi yang dimaksud antara lain pejabat akan berdiri bersama dengan orang lain, terutama masyarakat miskin; Kebijakan-kebijakan yang diambil akan menggambarkan semangat solider terutama kepada kaum miskin yang melimpah di negeri ini; Uang Negara akan berusaha dicari, jika dicuri oknum tertentu; Suap menjadi tabu untuk dihayati, apalagi dijalani, mengingat kaum miskin yang lebih berhak menerimanya. Intinya: mencari keuntungan diri sendiri akan dijauhkan.
Menurut Erich Fromm, kecenderungan mencari keuntungan untuk diri sendiri disebut sebagai orientasi menimbun. Dalam orientasi seperti itu manusia menjadi budak materi sehingga menjadikannya asing sebagai manusia. Manusia menimbun adalah manusia yang terbelenggu oleh egosentrisme yang merugikan baik bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. Hakikat sosial dan kenyamanan diri yang paling dalam terganggu, bahkan mengerdil. Dalam mengembangkan diri, manusia memang harus bersama dengan orang lain/masyarakat, terutama kaum miskin. Mengapa? Karena bersama orang lain, manusia akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Mau bukti? Bersamalah selalu dengan kaum miskin.
In Solidarity,
Johnson Steffan. D.

Tidak ada komentar: