20 Januari 2011

Nebeng Ketenaran Kasus Mafia Pajak Untuk Tahu Satu Dari Sejarah Dunia : Ts'ai Lun


Penikmat media masa akhir-akhir ini selalu disajikan nama-nama sekitar Gayus Tambunan, nama anggota satgas mafia hukum, nama penegak hukum, nama para pengacara, nama politisi, dan nama-nama lain yang berhubungan dengan berita tentang kasus mafia pajak. Nah, sekarang cobalah kita ditanyakan mengenai sosok Ts'ai Lun. Kemungkinan besar: banyak di antara kita tak tahu menahu perihal orang ini, apalagi person tersebut hidup di sekitar abad pertama masehi. Padahal tanpa Ts'ai Lun begitu banyak perkara tak bisa berkeputusan tetap karena tak ada bukti. (Banyak pula kebenaran sejarah tak akan tercatat tanpa kreasi seorang Ts'ai Lun.)

Saat ini, bolehlah orang berujar, "mana hitam di atas putih sebagai alat bukti pernyataan anda". Nah, bukti hitam di atas putih itu selalu tertuang di atas kertas. Ya, Ts'ai Lun adalah penemu kertas. Beliau adalah seorang pegawai pengadilan di kekaisaran Cina yang pada tahun 105 M mempersembahkan contoh kertas kepada kaisar Ho Ti. Sayangnya, banyak buku sejarah dan bahkan banyak ensiklopedi tak mencatat pribadi Ts'ai Lun yang maha dahsyat ini. Saya menyebut maha dahsyat, bahkan untuk ukuran abad kita ini, sebabnya adalah hal biasa seorang petugas pengadilan menuntut dan menjatuhkan vonis tetapi betapa hebatnya seorang pegawai pengadilan menghasilkan suatu produk teknologi tinggi seperti itu.

Tulisan yang tak nyambung antara hebohnya kasus mafia pajak dan Ts'ai Lun ini memang tak bermutu namun sekurang-kurangnya saya sebagai orang tak penting ini berbangga karena pernah membaca sejarah penting mengenai seorang penemu kertas yang sampai kapanpun tetap akan dipakai sejauh sejarah masih diisi oleh manusia.

(Ekskursus: masih ada hubungan antara Ts'ai Lun dan kasus mafia pajak, yakni dipertemukan oleh kata "pengadilan". Mohon maaf dan harap maklum karena tulisan ini memang keluar dari kandungan seorang yang tak ilmiah).

Hormat saya,
Johnson Steffan. D.

12 Mei 2010

Silakan Memilih

Ada dua hal ini: bersyukur dan mengeluh. Silakan mengambil keputusan.

Salam dan Hormatku,
Johnson Steffan. D.

15 Januari 2010

My Sweet


TAK ADA JAWABAN

Apakah semua pertanyaan selalu punya jawaban? Semua pertanyaan tidak selalu memiliki jawaban. Lalu apa artinya pertanyaan yang tak terjawab? Banyak arti.

Artinya ada proses mencari jawaban…..

Artinya selalu ada pertanyaan yang belum terjawab….

Artinya daya menyelami ke kedalaman terus bergerak….

Artinya selalu ada kenyataan yang tak memenuhi kebutuhan keingintahuan…..

Artinya ada potensi jawaban di tikungan sana….

Manakala di sana ada jawaban, maka pertanyaan muncul lagi.


Salam,
Johnson Steffan. D.

05 Januari 2010

SELAMAT TAHUN BARU

SEKADAR PAGI, SIANG, MALAM?????
ENTAKAH DETIK, MENIT, JAM, HARI, BULAN, TAHUN HANYA RANGKAIAN?????
MENGALAMI WAKTU.....
MENUJU KESADARAN......

01 September 2009

30 Agustus 2009

Diam

Mendengarkan suara manusia...
Mendengarkan kendaraan lewat...
Mendengarkan suara petasan...
Mendengarkan tiupan angin...
Mendengarkan kicau angsa...
Mendengarkan alam....
Mendengarkan Tuhan..
Hanya diam...

Dalam Keheningan,
Johnson Steffan. D.

14 Agustus 2009

Tim Kerja Menuju Sukses

Bayangkan struktur suatu perusahaan hanya terdiri dari accounting dan human resources saja. Kalau demikian yang terjadi maka tak layaklah kita menyebutnya perusahaan. Apalagi kalau struktur tersebut hanya suatu susunan di atas kertas tanpa manusianya. Yang disebut terakhir itu lebih konyol lagi. Suatu komunitas kerja dinamakan sebagai perusahaan manakala memiliki struktur yang memadai (pasti modal dll juga) disertai person-person yang menjalankannya.

Person-person yang dimaksud membentuk tim kerja untuk tujuan dan target yang seragam. Perusahaan tak sama dengan kerumunan atau kumpulan orang-orang yang se-hobi. Misalnya, kumpulan orang-orang yang hobinya memancing ikan bisa memiliki perbedaan tujuan dalam diri masing-masing individu. Namun dalam perusahaan, semua departemen/individu masuk dalam satu tim kerja dan mengambil bagian untuk tujuan perusahaan. Dengan tujuan atau target perusahaan berarti meredusir segala interese sesaat demi kepentingan inividu yang menafikan tujuan bisnis. Seseorang yang bergabung dengan perusahaan tertentu tidak membawa tujuan sendiri yang merugikan melainkan berpartisipasi dalam tujuan yang dikehendaki perusahaan, yakni kesuksesan yang dipertahankan dan dikembangkan.

Perusahaan sebagaimana tubuh manusia, manakala satu organ sakit maka pada saat yang sama bagian tubuh lain mengalami kesakitan dan saat itu pula aktivitas terganggu. Begitu halnya perusahaan, misalnya, manakala bagian marketing macet maka sukses tertunda untuk diraih. Ketika bagian produksi tak berjalan maka kesuksesan masih merupakan harapan. Namun, ketika semua bagian bersinergi untuk menggapai tujuan maka kesuksesan berada bersama perusahaan.

Pada waktu kesuksesan diraih dan dikembangkan pada saat yang sama individu juga menjadi manusia sukses. Mengapa? Sebab sukses yang diraih perusahaan merupakan wujud dari potensialitas individu menjadi aktualitas individu. Bisa saja terjadi bahwa potensi tetap tinggal di dalam diri karena tak ada horizon yang memungkinkan untuk menjadi aktualitas. Bisa pula terjadi bahwa potensi tetap hanya potensi karena tak ada niat dan pengaruh untuk menjadikannya sebagai aktualitas. Oleh sebab itu, sukses perusahaan juga hendak dilihat sebagai sukses individu yang berpartisipasi di dalamnya. Kita masih bisa menambahkan pelbagai aspek kesuksesan sebagai dampak dari sukses perusahaan/tim kerja tadi. Sukses tersebut bisa menjadi standar untuk lebih meningkatkan kesuksesan yang lebih besar.

Salam dan Hormat,
Johnson Steffan. D.

19 Juli 2009

Merencanakan Masa Depan

Hari esok yang hendak menyusul hari ini mendatangi kita tanpa diundang. Ia menyejarah dalam hidup tanpa perlu persetujuan sebelumnya. Manakala kita di masa sulitpun ia tetap hadir sebagai suatu kebenaran yang harus dihadapi. Hanya ada satu kata untuk masa depan, yaitu rencana. Berbicara mengenai rencana berarti mengatur kekinian untuk hari-hari menyusul. Hari ini diciptakan suatu rencana sedemikian rupa untuk kepentingan sekarang sekaligus untuk hari-hari yang akan datang. Hari ini dibangun pelbagai strategi yang tepat sehingga saat berhadapan dengan masalah manusia bukan hanya siap menghadapinya melainkan juga menyelesaikannya dengan tepat.
Masa depan akan menyapa kita, terlebih menyapa kelompok yang dinominalkan sebagai generasi muda. Mereka hadir dalam masa kini sebagai potensialitas sekaligus aktualitas. Generasi muda menjadi sahabat dan tim kita untuk membangun strategi menghadapi aksioma-aksioma kehidupan untuk dijadikan realitas yang pantas diubah menuju suatu peradaban lebih maju dan luhur. Irama kaum muda perlu diikuti dengan cermat seraya memberikan pilihan-pilihan kepada mereka untuk memutuskan sikapnya berhadapan dengan kenyataan dunia. Mereka perlu ditemani bukan berlandaskan kesangsian akan potensi mereka melainkan antara lain karena hakekat manusia sebagai makhluk social.
Masa depan bukan sekadar besok hari apa-tanggal berapa-tahun sekian namun masa depan berisi kenyataan ekonomis, politik, budaya atau lebih singkat dinamakan totalitas kehidupan. Bagaimana kita merencanakan masa depan? Jawabannya ada dalam bidang-bidang kehidupan. Jika kita mengehendaki masa depan ekonomi berkembang maka hari ini dipancanglah tiang ekonomi strategis. Bilamana kita mengehendaki masa depan politik yang matang maka dibangunlah suatu proses politik yang dewasa. Begitu seterusnya. Pertanyaannya: bagaimana konkretnya? Jawabanya ada dalam kompleksitas yang ada pada hari-hari lalu dan kini. Satu hal terakhir: rencana bukan hanya ide melainkan terutama tindakan. ***

Salam dan Hormat,
Johnson Steffan. D.

18 Juli 2009

Tuhan Tak Maha Kuasa?

Pertanyaan di atas kujawab dengan penuh keyakinan, bahkan dengan suara lantang: “YA, Tuhan tak maha kuasa”. Pasti kaum teis akan menganggapku manusia paling tak beradab, orang gila, penganut ateis, pribadi tak toleran dan pelbagai macam predikat untuk diri ini. Saya tentu sangat menerima semua label yang dikenakan untukku karena jawaban tak lazim tadi. Dalam dunia yang positivis, empiris, logis, matematis, ekonomis, filosofis dan seterusnya jawaban ini tentu hal biasa manakala dilihat apa yang menjadi alasan keyakinan “ya” tesebut.

Menurut saya, kemahakuasaan Tuhan sebenarnya hanya ada dalam kitab-kitab suci. Anda tentu sangat mampu membuktikan betapa kemahakuasaan Tuhan itu hanya suatu berita suci yang diperoleh dari pendahulu kita. Mengapa Tuhan tak maha kuasa? Manusialah yang menciptakan sosok Tuhan tak berkuasa. Koq bisa? Bisa saja. Coba kita lihat dari keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan dan praksis kita. Katanya, Tuhan maha kuasa namun kita sendiri membatasi kekuasaan Tuhan hanya dalam agama kita. Kadang kita berpikir/bersikap bahwa Tuhan sebenarnya hanya bekerja dalam agama kita sementara agama lain Tuhan tidak bekerja. Dengan kata lain, kebenaran absolute hanya ada dalam agama kita karena Tuhan bekerja di dalamnya. Nah, bayangkan saja betapa tak ada kuasanya Tuhan itu dalam suatu keyakinan terpegang teguh hanya karena ada agama lain berbeda dengan kita. Masa sih Tuhan hanya bekerja dalam agama kita? Betapa lemahnya Tuhan kayak gitu. Inilah kekonyolan yang kadang kita hidupi dalam keyakinan dan keseharian kita. Now, jika kita mampu menghargai dan menerima bahwa Tuhan juga menganugerahkan kebenaran dalam agama orang lain maka saat ini pula kita mengakui betapa Tuhan itu maha kuasa. Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan “apakah Tuhan tak maha kuasa” adalah “TIDAK, TUHAN SUNGGUH MAHA KUASA”.

Kasus lain. Kita menyatakan bahwa Tuhan maha kuasa atas diri ini namun kenyataanya Tuhan tak maha kuasa lagi. Mengapa? Karena panggilan Tuhan untuk (misalnya) menjalankan kewajiban agama dikalahkan oleh hal peripheral seperti hobi. Contoh: jam sekian kewajiban agama mengharuskan kita untuk beribadat namun kita lebih memilih mancing ikan, main badminton, ngumpul dengan teman-teman dan seribu satu macam hobi lain. Nah, manakala kita meletakkan hobi di bagian sekunder dan memposisikan kewajiban beragama di posisi tertinggi maka TUHAN SUNGGUH MAHA KUASA.

Pertanyaan terakhir: apakah Tuhan maha kuasa ada dalam keputusan harian kita? Silakan kita menjawabnya. Namun, tanpa keputusan kita pun, TUHAN TETAP SUNGGUH MAHA KUASA. ***

Salam dan Hormat,
Johnson Steffan. D.

16 Juli 2009

Selamat HUT Yayangku


Ketika saya bangun pagi, anakku sudah duduk manis di depan kue ultah yang dibuat istri. Hari ini istriku bangun lebih pagi dari biasanya untuk mempersiapkan kue tersebut. Oh, Ririn, putriku yang cantik, selamat hari ulang tahun ya.

In Love,
Una + Fianti

08 Juli 2009

Hiduplah Indonesia Raya


Hari ini, 8 Juli 2009, Indonesia melaksanakan lagi pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden. Sampai detik kutulis kata terakhir ini, suasana negeri sangat damai, sekurang-kurangnya situasi sekitarku dan pancaran alam yang menembus intuisiku. Luar biasa, kedamaian pemilu ini menunjukkan peradaban tingkat tinggi yang dimiliki Indonesia. Hiduplah Indonesia Raya.

01 Mei 2009

Evaluasi Akhir

Kegiatan ritual keagamaan merupakan kebenaran yang penting, namun segera ditambahkan bahwa kiranya kita perlu menciptakan kehidupan yang seimbang antara ritus dan sosialitas. Kita (pasti termasuk saya) sering lupa bahwa kegiatan agama di dalam rumah ibadat atau di mana saja perlu dibuktikan dalam relasi dengan alam dan manusia. Pada saat itu (waktu yang tak terduga), kita dievaluasi oleh Sang Khalik bukan hanya soal berapa kali kita masuk rumah ibadat dalam sebulan melainkan soal apa solusi yang kita berikan kepada orang berkesusahan di sekitar kita.
Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapaku, terimalah kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia djadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.
Salam dan Hormat,
Johnson Steffan. D.

21 Maret 2009

Inkonsistensi

Praksis beragama bisa dijalankan bersamaan dengan praksis yang menyeleweng dengan spiritualitas agama yang diyakini. Anda bisa berpuasa sambil menjalankan korupsi. Anda bisa beribadat di tempat suci sambil berencana untuk berselingkuh dengan istri orang lain. Luar biasa...

27 Oktober 2008

Ignorantia Terhadap Agama Orang Lain

Banyak orang yang berbeda agama dengan saya menghargai kebenaran agama orang lain. Kenyataan ini tak lain sebagai hasil dari proses pendidikan yang menghargai keragaman beragama. Suatu proses yang terolah dengan baik oleh individu yang matang menerima perbedaan.
Namun, ada beberapa gelintir pihak sangat percaya diri menulis atau membicarakan agama orang lain secara SERAMPANGAN. Mereka yang saya sebut sebagai beberapa gelintir pihak ini sangat minoritas dalam jumlah – termasuk yang disebut sebagai ahli dalam lingkungan agamanya. Ulasan orang-orang seperti ini, biasanya menghakimi agama lain sebagai suatu realitas bengkok yang jauh dari kebenaran. Yang seperti ini, bagi saya, bukan ahli lagi. Mana ada seh, hare gene orang diberikan penghargaan oleh orang lain karena tulisannya yang menyudutkan agama orang lain? Sejauh yang saya tahu: TIDAK ADA. Yang mengherankan saya: ada orang yang secara sengaja mempublikasikan agama orang lain sebagai kenyataan tak berlogika di pelbagai media.
Lebih aneh lagi, kaum yang saya golongkan sebagai segelintir pihak ini dengan berani mengutip dari sebagian pubikasi resmi dari agama orang lain, ada yang mengutip kitab suci segala lagi demi membenarkan apa yang dia pikirkan bahwa agama lain salah. Dan, SELALU apa yang diulas merupakan uraian yang amat basi dan ketinggalan zaman. Kadang kita (termasuk saya) tak sadar bahwa agama lain itu tak sekadar kitab suci, tak sekadar praktek ritual, tak sekadar hari-hari besar keagamaan, tak sekadar tradisi. Agama meliputi banyak kenyataan yang harus dilihat secara utuh dan dilihat penuh hormat.
Lalu, apa tujuan semua ulasan tentang agama orang lain yang sejatinya tak utuh itu? Mau “menobatkan” orang supaya menganut agama yang sama dengan kita? Ah, lelucon. Dalam era sekarang, kiranya lebih baik menobatkan orang supaya menjalani dan menghayati agamanya secara benar dari pada sibuk berlogika supaya orang lain “bertobat” sehingga berpindah agama dan masuk dalam agama yang kita anut.
Di masa sekarang, banyak orang pindah agama hanya karena alasan rendahan seperti: pekerjaan, mau nikah, pengalaman “spiritual” di level PERASAAN, bukan karena alasan “pertobatan” sebagai pilihan setelah membaca atau mendengar “logika” agama yang dijelaskan oleh segelintir pihak tadi. Namun, jika masih ada segelintir pihak yang tetap ngotot mempublikasikan tulisan agama orang lain sebagai salah maka kita harus menerimanya sebagai saudara. Orang seperti ini tetap saudara kita yang kebetulan ignoran. Dan, orang seperti ini harus masuk dalam daftar orang yang harus kita doakan..

Salam dan Hormat,
Johnson Steffan. D.

26 Oktober 2008

Si Seksi Yang Menjadi Hamba

Kapan kita berfilsafat? Setiap hari, terutama saat kita sedang berdiskusi tentang gagasan-gagasan fundamental kehidupan, antar lain saat diskursus tentang ketuhanan, dialog mengenai kehidupan setelah kematian raga, dan berbicara tema universalitas keselamatan, berdiskusi tentang moralitas dst. Di dalam dialog, kita akan berjumpa dengan perbedaan pandangan, namun ada pula kesamaan paham. Berbeda, karena horizon yang terberi sebagai fragmen. Sama, karena horizon universal yang terberi pula.
Semuanya membentuk harmoni indah sebagai salah satu karakter ketimuran yang sejak kekal ada dalam diri kita. Karakteristik tersebut kian mencuat karena kita terbuka satu dengan yang lain. Suatu keterbukaan yang memungkinkan pihak lain masuk ke dalam diri kita. Keterbukaan yang juga mengandaikan “perselisihan” satu dengan yang lain. Perselisihan sebagai ritme natural. Ketika ada “alien” memasuki diri kita maka pada waktu itu kita berselisih. Saat terjadi perselisihan, saat itulah perbedaan sedang tersenyum. Manakala senyuman sang beda dihadapi dengan senyuman maka pada masa yang sama kebhinekaan dinikmati.
Filsafat memang nikmat. Siapapun kita dan apapun latar belakang kita: hari-hari ini, kita sedang menikmati “si seksi filsafat”. Kita semua adalah filsuf karena kita telah masuk ke dalam pesona filsafat. Ya, kita telah berfilsafat. Satu dari sekian ciri filsafat adalah berbicara mengenai realitas fundamental. Dan, filsafat bukanlah tujuan, ia hanya hamba untuk kenyataan fundamental. Ya, si seksi ini memang cuma hamba. Namun, hamba yang satu ini bertugas untuk memperjelas dan mempertajam kesadaran kita terhadap dan di dalam realitas.
Salam dan Hormatku,
Johnson Steffan. D.

24 Oktober 2008

Disiplin

Percayakah anda bahwa ada manusia yang amat kaku menjalani kehidupan harian? Pasti percaya. Yang satu ini benar-benar kaku, bukan sembarang kaku. Dunia filsafat mengenal sosok bernama Immanuel Kant (1724-1804). Setiap hari, orang ini memiliki kegiatan yang sama. Dengan kata lain, kegiatan harian person yang senegara dengan Hitler ini berjalan monoton tiap harinya. Menurut berita semasa, orang sekota dengan Kant malah tak perlu melihat arloji manakala bersua dengannya. Misalnya, jika si filsuf ini sudah melewati balai kota Konigsberg maka hari sudah pukul setengah lima sore. Saya membayangkan kalau orang ini jadi pendiri salah satu agama maka akan banyak ritus yang harus dijalankan para pengikutnya, termasuk melewati balai kota setiap pukul setengah lima. Si Kant memang bukan pendiri agama, sehingga pengikutnya hanya mengikuti ide-idenya, sekaligus mengkritisi teorinya.
Nah, di antara kita tentu merasa kurang perlu berfilsafat dengan Kant, apalagi bicara ajaran agama dengannya mengingat Kant bukan ahli agama. Namun ada yang menarik dari kehidupan penikmat filsafat ini. Apa itu? Displin. Yang disebut terakhir ini bisa kita hubungkan dengan kata discipulus (bukan bahasa Indonesia) yang berarti murid. Salah satu karakter kemuridan adalah taat. Ya, tanpa ketaatan, seorang murid sulit untuk naik kelas, malah bisa jadi di-drop out oleh pihak sekolah. Dengan demikian, seorang yang disiplin sebenarnya adalah seorang yang taat. Pertanyaannya: kepada siapa kita taat? Silakan memberi jawaban sendiri-sendiri. Tentu jawabannya tak harus seperti pak Kant sehingga kalau kita ke toilet orang lain menjadi tahu pukul berapa hari itu. Eh, tapi boleh juga kalau kita sudah matang sebagai “bahan lelucon”. Get a great week end, friends.
In global crisis,
Johnson Steffan. D.

07 Oktober 2008

Menggapai Firdaus Yang Dirindukan

Siau. Pulau di bagian Utara Sulawesi ini nampak seperti gunung di tengah laut. Tanahnya limpah dengan pala dan kelapa, yang terberi oleh Sang Khalik sejak kekal. Pantainya berbatu dan berpasir indah, bersih. Terdapat dua gunung; satunya aktif sedangkan yang satu kebalikannya. Gunung Karangetang hingga hari ini masih menyemburkan lahar seraya menebar suara gelegar. Para pendatang selalu heran dengan penduduknya yang cuek terhadap aktivitas vulkanis bersuara dahsyat, bergemuruh itu. Terhadap turis manca negara, beberapa orang Siau malah bilang: many people don’t care about it. Malam hari, semburan lahar di puncak gunung justru memberi pemandangan indah, seperti kembang api raksasa. Sementara gunung Tamata hanya diam bak sosok mistis. Pemukim pulau Siau sangat religius. Penduduknya banyak tersebar di desa-desa.
Saya lahir di salah satu desa di pulau kecil ini, di kaki dua gunung tadi. Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, saya diminta oleh ibu untuk tinggal bersama kakaknya yang hidup sendiri. Kami tinggal jauh dari perumahan penduduk, di kebun. Manakala tersebar gossip adanya sekelompok orang yang mencari kepala manusia (dibunuh), saya ketakutan, terutama saat malam tiba. Tanteku rupanya merasakan ketakutanku, sehingga beliau selalu mengajak saya berdoa saat hari menjelang malam. Seorang anak yang belum lulus SD, yang mendengar gossip pembunuhan, bukanlah perkara gampang untuk bisa tenang, namun kekuatan doa membawaku kepada kedamaian dan kekuatan tak terlukiskan.
Kini, di tengah hiruk pikuk suasana sekitar ditambah pelbagai kenyataan dunia yang hadir dalam kepribadian, tak jarang sulit tercipta suasana batin yang berdoa secara mendalam dan polos. Doa seorang anak polos itulah yang selalu dirindukan. Kadangkala, seorang dewasa kurang mampu berdoa secara mendalam seperti anak kecil yang sederhana, tanpa terganggu oleh pemikiran tentang kerja, tanpa terganggu oleh bisingnya kendaraan dan pelbagai kenyataan yang dirasa mengganggu. Hasil doa kadang kala hanya deretan kata tanpa efek, baik bagi diri maupun bagi sosialitas. Bahkan doa tanpa katapun, diri ini seperti mayat saja.
Tentu, saya tidak boleh menyalahkan kedewasaan atau menyalahkan dunia sekitar namun suasana diri seperti seorang anak kecil yang bersimpuh dalam ketulusan, tanpa beban, sungguh-sungguh, pasrah-penuh iman tetaplah mungkin dihidupi. Suasana desa dan situasi anak kecil adalah firdaus masa lampau. Kini ia telah tiada, yang ada adalah upaya. Ya, upaya untuk menciptakan diri dengan suasana batin yang matang sebagai keniscayaan bagi yang butuh Tuhannya. Melalui latihan tanpa mengenal pensiun, doa meditatif dan kontemplatif memang akan berhasil. Dan, firdaus itu, dihidupi, bukan karena ketakutan terhadap gossip si jagal.
Dengan Penuh Sembah Kepada Tuhan,
Johnson Steffan. D.

02 Oktober 2008

Pengenalan Terhadap Bawahan

Seorang karyawan memasuki masa pensiun. Ia pamit kepada atasannya . Di akhir pembicaraan dengan sang atasan, ia berkata: “Pak, tolong kenali lebih dalam rekan-rekan kerjaku. Terima kasih untuk semua perhatian bapak kepada saya.”

Orang tua biasanya tidak memakai istilah yang ruwet untuk menyatakan pengalamannya. Di dalam kumpulan kata sederhana justru terkandung makna yang betapa dalam sebagai kristalisasi dari pelbagai peristiwa yang teralami. Makna suatu ungkapan memang tidak terutama diukur dengan sosok yang menyampaikan rangkaian kata. Namun ungkapan yang disampaikan oleh seorang yang sudah tua kiranya perlu didalami.

Kata-kata di atas dinyatakan oleh seorang yang hendak pensiun, seorang yang sudah mengalami pelbagai peristiwa hidup dan perjumpaan dengan pelbagai sosok manusia, baik rekan kerjanya maupun atasannya. Lalu apa maksud orang tua tadi meminta atasan untuk mengenal bawahannya? Ada beberapa kenyataan indah dan penting untuk dipetik sebagai buah dari pengenalan mendalam terhadap bawahan:
1. Tingginya intensitas kontrol menjadi kenyataan terberi.
2. Atasan akan memberikan tugas sesuai kompetensi bawahan.
3. Tercipta relasi personal disamping hubungan fungsional kerja antara atasan dan bawahan.
4. Penilaian atasan terhadap bawahan akan lebih obyektif.
5. Pelbagai bentuk “laporan” yang menyudutkan bawahan tidak diterima begitu saja sebagai kebenaran.
6. dst.

Dalam Keharuan Perpisahan,
Johnson Steffan. D.

29 September 2008

Tak Ada Penghuni Neraka

Percayakah anda kepada seseorang yang mengatakan bahwa neraka tak ada penghuninya? Saya sendiri percaya. Lalu, ke mana penghuni neraka? Mereka ada di sekitar kita. Ya, mereka tampil dalam pelbagai wajah. Ia bisa hadir dalam diri karyawan yang menyelewengkan uang perusahaannya, dalam diri pembunuh berwajah tampan, dalam diri wanita cantik yang menggoda suami orang, dst.

Kalau semua penghuni neraka sudah tumplek di sekitar kita, lalu apa gunanya neraka? Ia tetap berguna. Neraka dikosongkan supaya direnovasi sehingga makin layak untuk ditempati kembali.
So, berjaga-jagalah karena sekarang semua penghuni neraka hadir di sekeliling kita. Mungkin itulah maksud William Shakespeare dengan menyatakan: Neraka itu kosong. Semua setan berada di bumi.

Dalam Hening,
Johnson Steffan. D.

Menerima & Membagi Keadilan

Seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.
Cerita yang berumur ribuan tahun ini tampil dalam wajah terkini: seorang teman berbagi pengalaman hidup mengenai fasilitas di perusahaannya. Ia sering “dikeluhkan” atasannya karena fasilitas yang diperoleh melebihi jabatannya. Sayangnya, atasan kawan ini juga mendapat fasilitas yang melebihi apa yang seharusnya ia terima.
Masih banyak bentuk seperti kisah di atas yang parallel kualitasnya dengan pelbagai peristiwa di era sekarang. Semua itu mengingatkan sikap kita terhadap orang lain. Pertanyaan penting: apakah kita sudah berlaku adil terhadap sesama sementara kita memperoleh keadilan dari orang lain?
Dalam Suasana Duka,
Johnson Steffan. D.

15 September 2008

Nilai Rp. 30.000 per Orang

Kehidupan di dunia dikenali awalnya, namun siapa pun tak akan tahu kapan berakhir. Siapa sangka kalau pilek yang menjadi medium kematian. Siapa kira kecelakaan kerja yang merenggut nyawa. Siapa yang menduga kalau bencana alam menghantar berakhirnya hayat di kandung badan. Yang paling terkini, siapa yang menyangka kalau uang sejumlah Rp. 30.000 per orang akan membuat saudara-saudara kita meninggal dunia. Kaum miskin ini tak mengantri untuk maksud menjemput kematian dan mencari derita. Mereka datang untuk mengambil praksis kepercayaan satu keluarga. Mereka datang karena ada nilai di rumah H. Syaichon. Nilailah yang dicari oleh mereka, bukan angka.
Sudah puluhan tahun H. Syaichon memberi zakat kepada masyarakat sekitar melalui acara pembagian langsung tunai kepada kaum miskin. Beliau pasti tak menduga kegiatan sedekahnya dipublikasikan sedahsyat sekarang ini. Kegiatan yang dilangsungkan di rumahnya di Pasuruan ini menjadi buah bibir karena terdapat korban meninggal (melebihi angka dua puluh). Mungkin kalau tidak ada korban maka kebaikan hati sang pemberi zakat tak akan diketahui oleh lebih banyak orang.
Di tengah kegiatan pembagian langsung tunai oleh negara, di tengah berjubelnya kasus korupsi, di tengah aksi terima suap pejabat negeri, kita temukan sosok H. Syaichon yang memberi bantuan langsung tunai kepada sahabat-sahabat yang berkekurangan. Menilik kebiasaan tahunan beliau memberi zakat, kita tak bisa mengelak dari kebenaran bahwa beliau memiliki semangat kedermawanan yang konsisten. Keutamaan tak sama dengan kebiasaan namun keutamaan bisa tumbuh dari kebiasaan. Saya tak ragu menyatakan bahwa beliau memiliki keutamaan hidup.
Saya tak sedang berbicara tentang hukum, saya juga tidak sementara berbicara soal ekonomi, saya juga tidak berfilsafat, saya tak pula berbicara agama namun saya sedang menggarisbawahi satu nilai dari peristiwa Rp. 30.000,- per orang ini: baik korban maupun H. Syaichon sama-sama menularkan dan mencari satu nilai, yakni NILAI SOLIDARITAS. Perhitungan tindakan kedua pihak didasarkan atas nilai yang sama: SOLIDARITAS. Nilai yang bisa saja memudar dalam diri saya. Semoga H. Syaichon, sang peziarah, diberikan jalan yang lapang untuk mengatasi masalah hidup, teristimewa menghadapi peristiwa pembagian zakat tahun ini. Semoga korban meninggal dianugerahi kebahagiaan kekal, setelah perjuangan di dunia. ***

Salam dan Hormat,
Johnson Steffan. D.

14 September 2008

Menyapa Pemikir Sollipsistik

Berhadapan dengan polemik tentang pemikiran orisinil yang menafikan pengaruh pihak lain, saya tergerak untuk mengutip pemikiran salah satu filsuf yang bernama Imre Lakatos. Membedah pemikiran Imre Lakatos kiranya harus dilihat dalam dialog terhadap pemikiran Popper. Terhadap teori falsifikasi yang diajukan Popper sebagai kriteria demarkasi, Lakatos menambahkan bahwa bukan satu teori saja yang difalsifikasi sebagai ilmiah dan tidak ilmiah melainkan rangkaian dari teori-teori. Rangkaian teori-teori itu dihubungkan oleh kontinuitas. Pemikiran ini menghantar Lakatos pada apa yang dinamakan research programmes. Ada dua aturan metodologis dalam program-program riset ini, yaitu:
Heuristik negatif, yaitu aturan program riset yang memberitahukan cara yang harus dihindari.
Heuristik positif, yakni aturan program riset yang memberitahukan cara yang harus dijalani.
Bagi Lakatos, metodologi tersebut sangat penting dalam sejarah ilmu, sebab masalah yang berkaitan dengan logika penemuan tidak dapat dbahas secara tuntas kecuali dalam program-program riset. Masing-masing program riset harus memiliki suatu hipotesis dasar inti yang tak boleh difalsifikasi. Segala observasi data dapat memberi data yang memfalsifikasi bagian tertentu namun bukan memfalsifikasi dasar yang menjadi pokok tersebut.
Metodologi research programmes yang memandang teori-teori sebagai suatu rangkaian merupakan suatu sumbangan positif bagi ilmu pengetahuan. Disebut positif karena Lakatos memberi apresiasi hangat bagi integralitas teori-teori. Bersama Lakatos kita perlu menyangsikan pernyataan bahwa teori tunggal saja yang hendak dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah. Sebab jika hanya satu teori yang harus difalsifikasi maka yang terjadi adalah penumpukan teori-teori yang terfragmentasi setelah lolos falsifikasi. Struktur dan wajah ilmu pengetahuan dibentuk berdasarkan teori-teori lepas. Menjadi tak relevan jika teori tunggal diperhadapkan dengan kenyataa faktual global yang berada dalam relasi influensial.
Dengan mengafirmasikan teori sebagai suatu rangkaian membawa konsekwensi bahwa teori yang dibuang setelah difalsifikasi (Popper) adalah membongkar ilmu pengetahuan sebagai suatu totalitas. Adalah tidak mungkin meruntuhkan ilmu pengetahuan ilmu sebagai keseluruhan hanya karena bagian tertentu saja yang cacat. Maka tak heran Lakatos menyebut adanya inti teori yang lolos dari falsifikasi.Itulah sejarah ilmu yang terangkai sedemikian rupa tanpa suatu diskontinuitas.
Apa yang bisa dipetik dari seorang Lakatos? Kita tak mungkin berada di luar rangkaian teori-teori. Apapun yang kita konsepkan, teorikan, ungkapkan berada dalam pengaruh teori yang telah ada. Teori yang kita kemukakan tak bisa berada dalam sollipsisme. Oleh sebab itu, tak ada konseptor atau apapun namanya mendirikan teori yang tiba-tiba jatuh dari langit.

Dalam Perdebatan Keaslian Pandangan Individu,
Johnson Steffan. D.

11 September 2008

MENJADI HUMANIS LEBIH PENTING

Tadi malam, tanggal 10 September 2008, ada acara debat di TV ONE, antara PDS yang bersemangat kristiani dan PKS yang bersemangat islami. Biasalah kalo debat pasti ada perbedaan, walau ada pula titik temu. Yang paling mengesankan saya bukan debatnya namun justru akhir dari debat, yakni saat semua peserta debat dan juru bicaranya saling berpelukan akrab satu dengan yang lain: PKS memeluk PDS, PDS memeluk PKS. Itulah Indonesia.
Panggung debat memang bukan pengalaman harian, yang harian adalah ketika kita turun dari panggung dan bersua satu dengan yang lain sebagai manusia yang memiliki ragam beda. Kita berpelukan dengan siapa saja, tanpa melihat apa agamanya. Pengalaman yang dialami sehari-hari adalah saya seorang Katolik berinteraksi dengan kaum Buddhis, kaum Muslim, kaum Hindhu, dan seterusnya. Saya berjumpa dengan mereka dalam situasi saling mengakui. Itulah kita.
Dalam pengalaman harian, tak ada sekat saya sebagai orang Katolik dengan orang lain yang berbeda agama. Perjumpaan dengan pihak lain tidak dibatasi oleh agama. Saya bebas bertemu dan bergaul dengan siapa saja, apapun agamanya. Dalam tataran harian realitanya seperti itu Yang hidup adalah penghargaan terhadap kemanusiaan universal. Nah, dalam konteks ini, diskusi tentang humanism/bersikap humanis jauh lebih urgent dari pada debat tentang keselamatan yang sahih datang dari agama mana.
Manakala masing-masing agama menonjolkan keselamatannya maka TAK ADA YANG JADI PEMENANG karena semua agama memiliki filsafatnya, kitab sucinya, tradisinya, spiritualitasnya dst. Kepongahan individu dan sifat merasa lebih hebat dari yang lain persis terbalik dengan keluwesan agama yang dianutnya. Dalam agama manapun keluwesan itu menggambarkan kelengkapan. Jangan disangka apa yang kita pikirkan tak ada di pihak lain pada hal kenyataannya ada. Jangan menyangka apa yang dibanggakan sebagai satu-satunya di agama kita padahal di agama lain justru ada pula. Jangan-jangan kita katakan mereka begitu sedangkan kita begini, padahal kenyataanya kita dan mereka sama-sama begini. Lebih dari itu, diskusi tentang keselamatan yang sahih datang dari agama mana menjadi tidak penting karena justru itu yang membuat sekat. Kenapa sekat? Yah, karena masing-masing mau menunjukkan sekat: “ini lho, kami punya lebih mantap. tercatat dalam kitab suci kami. kecap nomor satu.” Lalu apa gunanya sekat dalam masyarakat plural? Tak ada gunanya. Dalam konteks ini, bersikap humanis jauh lebih penting.
Menjadi humanis tak perlu khawatir digerogoti oleh nilai yang mengganggu keberimanan. Menjadi humanis malah mendapat landasan dalam semua agama. Seorang humanis toh tetap menjadi muslim yang baik, kristen yang baik, buddhis yang baik, hinduis yang baik, bahkan humanis atheis sekalipun, dst. Kalau kita menjadi seorang humanis karena penghayatan agama itulah nilai plusnya. Dan, tak ada kontradiksi di dalamnya.

Dalam Hiruk Pikuk Diskusi Keselamatan Di Satu Milis,
Johnson Steffan. D.

09 September 2008

WAKIL

Akhir-akhir ini ada sejumlah artis yang menjadi calon wakil pemimpin daerah. Ada yang berhasil memenangkan pilkada tetapi ada juga yang kurang beruntung. Salah satu alasan mengapa artis gagal dalam pilkada adalah masyarakat menilai sang artis tak memiliki kompetensi. Posisi wakil memang sangat penting sehingga masyarakat meletakkan ketenaran di barisan sekunder karena pemimpin dan wakil adalah satu tim yang diharapkan membawa kemajuan daerah.
Keberhasilan memang tak pernah lepas dari kelompok, tak lepas dari persekutuan, tak lepas dari komunitas, atau kata lazim: tak lepas dari tim. Memang, seorang pemimpin yang hebat butuh tim untuk kesuksesan kepemimpinannya. Mengapa? Karena, hakekat sosial yang melekat dalam dirinya ditambah lagi dengan keterbatasan menghadapi masalah yang jamak. Artinya, sulit untuk satu kepala memecahkan masalah yang tak tunggal. Memang, bagi seorang pemimpin birokrasi pemerintahan, bukan perkara gampang untuk membentuk tim. Namun, ia bisa membentuk komunitas kecil sebagai “lingkaran dalam”. Di sini, bukan sekadar terdiri dari individu yang punya kedekatan dengan the leader (walaupun itu baik untuk kerja sama) tetapi sekaligus person yang mempunyai keahlian di bidangnya. Seorang CEO yang handal memiliki tim profesional untuk memenej perusahaan ke arah pertumbuhan company yang stabil dan berkembang; seorang pemimpin redaksi yang mantap memiliki tim yang terlatih untuk menjalankan pemberitaan ke arah yang dinamis dan up to date; seorang kepala sekolah yang teruji memiliki tim (wakil-wakil) yang kompeten di bidangnya untuk mengembangkan sekolahnya; begitulah seorang pemimpin pemerintahan yang berhasil memiliki tim yang ahli di bidang-bidang birokrasi untuk membangun daerah/negara.
Sekarang, apakah dengan memiliki tim yang lengkap, seorang pemimpin pemerintahan akan menyelesaikan semua masalah? Tentu, tidak mudah. Namun, sekurang-kurangnya tim tersebut membantu memecahkan masalah-masalah penting, isu-isu utama, kepentingan-kepentingan global, problem-problem besar. Lalu bagaimana masalah detail sampai ke tingkat rendah? Subsidiaritas dan delegasilah yang dijalankan oleh sang pemimpin.
Dengan adanya tim, akan kelihatan calon pemimpin yang benar-benar siap bertarung atau hanya bertarung dalam pilkada demi meramaikan suasana. Kelihatan pula keseriusannya dalam merangkul siapa saja yang ahli di bidangnya, bukan sekadar asal comot, apalagi “perekrutan” oleh karena faktor keluarga semata (nepotis bengkok) atau hanya karena faktor ketenaran atau alasan lain yang tak masuk akal. Tim yang benar-benar ahli memiliki peran penting dalam mengembangkan suatu daerah. “Tim” paling dekat dan kentara dari seorang calon pemda mulai terlihat dari calon wakilnya. Wakil adalah orang yang berpengaruh dalam menentukan pengembangan daerah, khususnya dalam level kebijakan dan keuputusan-keputusan daerah.
Dunia politik memang tidak sederhana untuk menyatukan sosok pemimpin dan sosok wakil namun jika bertujuan luhur untuk meraih kekuasaan demi rakyat maka taruhannya bukan sekadar mencari wakil dari kalangan artis yang minim pengetahuan dan pengalaman. Namun segera ditambahkan niat luhur para selebritis kita untuk membangun daerah patut dihormati, apalagi sudah rela untuk hanya menjadi orang kedua. Banyak orang mau jadi nomor satu saja namun sedikit mau jadi nomor kedua padahal posisi-posisi itu sama tujuannya: pelayanan untuk KEPENTINGAN bersama.

Dalam Hiruk Pikuk Pilkada
Johnson Steffan D.

05 September 2008

Manusia dan Proyeksi dalam Dunia

Manusia dalam konteks heideggerian dipahami sebagai ia yang berada di sana (Dasein). Keberadaan manusia di sana bukanlah sesuatu yang dipilih melainkan sesuatu yang ditentukan oleh faktisitas manusia. (Fakstisitas adalah suatu keadaan atau kenyataan yang diterima tanpa suatu pilihan.) Faktisitas dapat dilukiskan sebagai dimensi kebendaan. Faktisitas dapat diartikan sebagai dimensi kebendaan itu yang membuat manusia senasib dengan apa yang kita maksudkan sebagai “riil” atau “yang berhubungan dengan benda”. Namun segera harus ditambahkan manusia diperhadapkan dengan berbagai kemungkinan untuk berada (possibility for being). Kemungkinan untuk berada itu dimengerti dalam konteks kemampuan manusia untuk memenuhi dan mengutuhkan keberadaannya.
Keterlemparan atau keberadaan di sana memang adalah suatu yang ditentukan namun manusia mampu berbuat sesuatu untuk mengatasi keterlemparannya itu. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa manusia mempunyai dalam dirinya sejumlah kemungkinan dan kemampuan untuk berada. Subyek sebagai “aku yang mampu” dapat mewujudkan proyek-proyek di mana ia dapat merealisasikan eksistensinya. Proyek-proyek itu merupakan cara berada paling azasi dari manusia. Sebab melalui proyek itu manusia mewujudkan kemungkinan untuk berada melebihi benda.Dengan demikian subyek manusia ditandai faktisitas dan transendensi. Sebagai faktisitas, manusia berada dan dibatasi oleh keadaan dan situasinya. Sebagai transendensi, manusia mampu mengubah situasi itu atau menerimanya. Namun demikian transedensi tidak bersifat mutlak karena manusia tidak pernah “tanpa faktisitas”.
Salah satu unsur penting dalam Desein adalah dunia. Manusia tidak berada dalam dirinya sendiri, ia berada dalam ruang (space). Ruang itulah dunia. Dalam dunia itu manusia mewujudkan keberadaanya lewat cara beradanya (proyeksi). Selamat berproyeksi.

Mengucapkan Terima Kasih

Pada suatu event tertentu, seseorang mewakili pimpinannya memberikan kata sambutan. Saya mengenal pimpinan beliau selalu mengucapkan terima kasih kepada semua pihak jika menyampaikan sambutan dalam momen seperti ini, termasuk ucapan terima kasih kepada panitia yang telah bekerja menyelenggarakan acara. Namun, beliau yang mewakili pimpinan tadi tak berterima kasih kepada satu pihak pun, bahkan tak berterima kasih kepada pemilik tempat diselenggarkan acara. Saya melihat orang yang sama amat kusyuk berdoa ketika acara sudah sampai pada bagian akhir.
Saya bangga dengan orang ini karena beliau mungkin berterima kasih kepada Tuhan atas terselanggaranya acara. Cuman saya perlu bertanya: apakah terima kasih kepada Tuhan sudah cukup, tanpa harus berterima kasih secara konkret kepada kawan-kawannya? Kiranya relasi baik dengan Tuhan menjadi imperative dibuktikan dalam relasi dengan sesama.
Kita tak bisa mempersalahkan orang yang mewakili pimpinan tadi, karena beliau berbeda dengan pimpinannya; bisa saja beliau grogi karena tak terbiasa berbicara di depan masa; bisa saja juga ia terpesona oleh pujian yang sementara terarah kepada instansinya (dalam hal ini terarah kepadanya); bisa saja ia lupa dengan kawan-kawan yang mendukung terselenggaranya acara karena sanjungan pembawa acara yang sedemikian tinggi sehingga dunia hanya terdiri dari beliau dan cahaya terang benderang (yang lain tak kelihatan gitu lho).
Fenomena ini mengingatkan saya sendiri yang sering tak bersyukur atas rahmat melimpah dari Sang Pemilik Hidup. Saya sering tak berterima kasih atas rejeki yang datang dari Tuhan melalui siapa saja yang menjadi saluran kasihNya. Ungkapan terima kasih memang tak perlu diucapkan jika sekadar basa-basi. Namun lebih baik disampaikan apalagi ketulusan sedang berbicara dari inner core. Mungkin Tuhan tersenyum manakala kita berterima kasih kepada-Nya melalui manusia di sekitar kita.

Dalam Terik Matahari,
Johnson Steffan. D.

09 Juli 2008

DESCARTES MEMBUKTIKAN EKSISTENSI TUHAN


Rene Descartes, seorang filsuf Perancis modern pernah berkeyakinan, bahwa rasio in se mampu mencapai kebenaran yang pasti. Kebenaran itu hanya bisa diperoleh bilamana kita menggunakan metode yang tepat. Kesangsian. Itulah metode yang dikemukakan sang filsuf. Menurut Descartes, kesangsian harus dijalankan secara radikal. Dengan radikal yang dimaksud, bahwa kesangsian meliputi segala pengetahuan yang dimiliki, bahkan kita harus sangsi terhadap kebenaran yang dianggap akurat dan pasti.
Pertanyaan yang pantas dikemukakan: “apakah Tuhan sungguh-sungguh bereksistensi , mengingat kesaksian yang datang dari luar harus juga disangsikan?’ Jika mengikuti alur pemikiran Descartes maka untuk menjawab pertanyaan tersebut harus berawal dari pertanyaan ini: adakah realitas yang lolos dari kesangsian metodis? Descartes menjawab: subyek yang menyangsikan itulah yang tak dapat disangsikan. Maka masyurlah ungkapan: saya berpikir, karena itu saya ada. Subyek yang berpikir (cogito) itulah kebenaran yang tegas dan pasti. Konsep cogito itulah yang bisa membuktikan secara akurat eksistensi Tuhan. Descartes lalu menganalisis ide-ide dalam rasio manusia. Berikut ini, dua cara Descartes membuktikan eksistensi Tuhan, yakni secara epistemologis dan ontologis.
Pertama, secara epistemologis. Descartes menyatakan, bahwa dalam rasio manusia terdapat ide-ide yang ditanamkan sejak kelahiran subyek. Ide ini disebut sebagai ide bawaan, yang terbagi tiga:
· Ide pemikiran, yaitu ide yang memungkinkan saya sadar bahwa saya berpikir.
· Ide keluasan, yaitu ide yang memungkinkan saya mengerti segala sesuatu yang mempunyai luas atau ekstensi.
· Ide kesempurnaan, yaitu ide tentang yang sempurna.
Ide yang disebut terakhir itulah yang memungkinkan saya berpikir tentang YANG SEMPURNA, TUHAN. Selanjutnya Descartes memakai prinsip kausalitas dalam usaha membuktikan eksistensi Tuhan. Bahwa sesuatu tidak muncul dari ketiadaan, demikian juga ide kesempurnaan mesti ada penyebab sempurna. Sampai di sini, kita mungkin bertanya: bagaimana eksistensi Tuhan bisa dibuktikan? Menurut Descartes, karena rasio mengandung ide kesempurnaan maka kesempurnaan itu harus memiliki eksistensi actual. Sebab tidak mungkin Tuhan hanya menurunkan ide kesempurnaan sedangkan KESEMPURNAAN sendiri tidak bereksistensi. Dengan argumen ini Desacartes lalu sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan sungguh-sungguh bereksistensi.
Kedua, secara ontologis. Descartes berangkat dari Tuhan adalah sempurna. Karena Tuhan adalah sempurna maka kesempurnaan-NYA mencakup juga eksistensi-NYA. Eksistensi Tuhan adalah salah satu dari kesempurnaan-NYA, sehingga Tuhan tidak sempurna bila tidak bereksistensi.
Pemikiran brilian filsuf ini memang patut dibanggakan, sebab kita makin diyakinkan bahwa eksistensi Tuhan bukanlah khayalan kaum beragama melainkan suatu kebenaran yang bisa dijelaskan secara rasional. Segera harus ditambahkan bahwa perlulah kita juga kritis terhadap pemikiran filosofis ini. Descartes memang menaruh penghargaan yang luar biasa terhadap kekuatan rasio manusia, sebagaimana ditunjukkan bahwa cogito menjadi landasan pencarian kebenaran melalui analisis ide-ide. Namun mengandalkan rasio secara berlebihan akan menciptakan keidakseimbangan dalam diskursus tentang eksistensi Tuhan.
Descartes lupa bahwa saya yang berpikir (cogito) bukan sekadar rasio, tapi saya yang berperasaan, berdarah, berdaging, dan berpengalaman. Pengalaman juga mampu memberikan sumbangan bagi pembuktian eksistensi Tuhan. Hanya dengan menguraikan ide-ide dalam membuktikan eksistensi Tuhan belumlah seimbang. Kebenaran tidak hanya berdasarkan kritik rasional (=ide-ide) semata tetapi juga ditemukan dalam rangkaian pengalaman. Pembuktian rasio harus juga diseimbangkan dengan pembuktian dari pengalaman. Rasio dan pengalaman jika digabungkan akan menjadi kekuatan untuk membuktikan eksistensi Tuhan.
Catatan terakhir: walaupun pembuktian-pembuktian logis dari rasio dan pengalaman diungkapkan namun satu hal yang pasti bahwa ungkapan-ungkapan itu hanya menyatakan secara kurang sempurna eksistensi Tuhan. Mungkin saja terdapat penjelasan yang sungguh-sungguh rasional dan suatu eksplanasi yang berangkat dari pengalaman tentang eksistensi Tuhan, namun bila semua itu dihadapkan pada KESEMPURNAAN TUHAN maka semua rumusan konseptual itu tetap jauh dari kesempurnaan.

Dalam Keheningan,
Johnson Steffan. D.

04 Juli 2008

02 Juli 2008

Pala




Di bawah pohon-pohon pala.

01 Juli 2008

Berserah Kepada Tuhan

Ingatlah dan berserahlah selalu kepada Tuhan.
Hari itu doa khusuk dipanjatkan oleh seorang muslim yang saya kenal. Mulutnya mengumandangkan adzan sebagai pembuka prosesi budaya Tidung (Tarakan, Kal.Tim) untuk menolak kemalangan. Sebelum upacara dimulai, seorang tokoh adat mengharapkan agar melalui doa yang dipanjatkan bangsa ini dihindarkan dari segala peristiwa menyedihkan sebagaimana dialami bangsa ini: kecelakaan di laut-udara-darat.
Sebagai pendatang di bumi Paguntaka, saya diberikan kesempatan lagi untuk menikmati betapa mengagumkan dan dinamis yang namanya kebudayaan. Dari seluruh rangkain upacara itu saya diingatkan betapa kehidupan sendiri mengajarkan banyak kebijaksanaan. Upacara tersebut mengajarkan lagi filsafat hidup.
Seorang Aristoteles pernah memproklamirkan secara filosofis nilai manusia dengan pernyataan kesohor: “manusia adalah makhluk berakal budi”. Di tanah Tidung afirmasi filosofis terhadap nilai dan martabat manusia itu kentara dalam tindakan. Seorang Cassirer yang mengatakan manusia sebagai makhluk simbolik dan dalam masyarkat Tidung pelbagai symbol adat indah dimiliki sejak para leluhur. Kalau kita menelisik Filsuf lain, ada pula yang pernah menyatakan manusia sebagai makhluk berpikir, di Juata penegasan itu ada dalam kehidupan. Di samping semua itu, ada penegasan teoretis lain yang mencuatkan nilai eksistensi manusia, yakni manusia sebagai makhluk berbudaya. Sebagaimana semua kebudayaan di bumi, di tanah Tidung budaya adalah bagian integral dari kehidupan.
Dengan kebudayaan manusia menciptakan lingkungan sosial yang baik. Melalui kebudayaan manusia mengatur diri, sosialitas, alam fisik dan dalam hubunganya dengan Sang Kuasa. Tujuan yang hendak dicapai dari progresivitas kebudayaan antara lain berkembangnya manusia untuk semakin lebih mulia. Sikap masyarakat Tidung terhadap budaya tidak berjarak dengan dirinya. Budaya memang dihidupi sebagai hati nurani sehingga yang pelihara sedangkan pelanggaran terhadap kebudayaan menjadi peristiwa yang negatif. Biasanya, yang namanya kebudayaan memuat kebiasaan (mores) yang dalam praktek dialami sebagai sesuatu yang berguna, yang perlu, yang diserahalihkan dari generasi ke generasi demi kesejahteraan dan kedamaian masyarakat, teristimewa demi hubungan penuh sembah kepada Sang Pencipta.
Umumnya, ideal dalam kebudayaan terjadi dalam tiga tataran, yaitu harmoni yang bercorak kosmik, social, dan transcendental. Finalitas perbuatan budaya yang berhubungan dengan kosmos dapat dijelaskan secara negative bahwa penolakan terhadap harmoni alam mendatangkan malapetaka kosmik. Penolakan terhadap harmoni social menimbulkan instabilitas social. Pelanggaran terhadap kehendak Tuhan mengakibatkan penderitaan manusia dalam wujud pelbagai kemalangan. Dengan demikian motivasi perbuatan budaya bukan sekadar memenuhi ideal antropos tapi juga tataran metafisik. Tataran yang disebut terakhir itu begitu kental dalam masyarakat Tidung. Itulah filsafat hidup yang kiranya penting untuk diteladani dan dihidupkan oleh generasi manapundan budaya apa saja. Apa yang saya tulis ini tentu sekadar catatan kaki dari kenyataan lebih dalam mengenai kebudayan Tidung.
Ketika tokoh adat memberikan pengantar dalam upacara yang disebutkan di atas bahwa aksi adat ini diintensikan untuk bangsa yang sedang mengalami pelbagai peristiwa sedih, saya pun terpesona oleh keluhuran maksud upacara tersebut. Betapa mengagumkan pehatian masyarakat Tidung terhadap bangsa ini. Solidaritas itu bukan hanya dalam hal materi melainkan juga dalam kebenaran rohani. Istimewanya lagi solidaritas ini dipancarkan dari tempat bernama Juata Laut, Tarakan, Kal.Tim., tempat mana tak pernah mempublikasikan diri ke seantero negeri untuk memperkenalkan keluhurannya. Namun dalam keheningannya itu masyarakat Tidung mengajarkan solidaritas. Suatu solidaritas yang menyuratkan kebenaran fundamental dan essensial ini:

Ingatlah dan berserahlah selalu kepada Tuhan.

In Solidarity,
Johnson Steffan. D.

30 Juni 2008

Calon Pemimpin Daerah Yang Terindikasi Bermasalah

Pernah suatu kesempatan seorang teman menyerukan secara tajam untuk tidak mencalonkan seseorang menjadi pemimpin daerah tertentu karena menurut beliau calon tersebut bermasalah secara hukum. Seruan yang dikemukakan oleh kawan ini menyangkut proaksi terhadap kenyataan yang tak diinginkan oleh siapapun. Jangan-jangan selama 5 tahun, pemerintahan akan dipimpin oleh seorang Plt doang. Bayangkan ruwetnya proses pengangkatan Plt dan pejabat definitif. Eh, ada daerah yang pemdanya dipimpin oleh plt bertahun-tahun dan dilantik jadi pejabat definitif cuman untuk beberapa bulan (karena korupsilah). Kalau pemimpinnya dibui setelah beberapa bulan memerintah maka daerah akan sibuk mengurus orang itu dari pada focus pada kepentingan banyak orang. Dengan demikian, daerah bukan hanya berjalan di tempat tapi berjalan mundur. Manakala daerah kita kian tertinggal dari daerah lain, pada waktu itulah kita perlu menertawakan diri kita. Saya pernah dipermalukan oleh teman ketika saya sering telat tentang pengetahuan teknis tertentu. Teman itu sampai bilang: eh, nenek moyangmu bergelantungan di pohon ya pada waktu para filsuf Yunani kuno berteori? So, pemimpin yang dalam pengamatan kita bermasalah memang perlu dipertimbangkan secara serius untuk tidak dicalonkan.
Di samping itu, ada juga kenyataan yang perlu diingat, yaitu: providentia divina. Nah, calon pemimpin yang dinilai bermasalah oleh kita perlu diserahkan kepada penyelenggaraan ilahi, karena: jangan-jangan justru dialah yang menjawab kebutuhan masyarakat; jangan-jangan penyelenggaran ilahi untuk perubahan dan perkembangan ada di tangan orang itu. Kedengaran klise atau konyol atau fatalistik. Namun, iman tak juga aneh jika diduetkan dengan politik karena keduanya bertujuan luhur. Kalau beta tak keliru, sejarah penyelamatan dalam kekristenan (dan pendapat ini tak mewakili keristenan) melibatkan proses politik yang tak bersih (Herodes n kawan-kawan), melibatkan pelacur kelas kakap (yang benar-benar basah – Maria Magdala), melibatkan ekonom yang kotor n nekatan (Yudas Iskariot), melibatkan orang pajak yang nyaris tak ada yang jujur (Matius n teman-temannya), melibatkan orang-orang gila hormat (Petrus, Yakobus n Yohanes), dst.... Namun, bisa saja calon yang terindikasi bermasalah adalah benar-benar sosok bersih seperti Sta. Thresa dari Kalkuta, cuman mungkin kita keliru menilai. Ah, beta seperti pengkhotbah yang tak ada jemaatnya.
Lalu bagaimana kita memposisikan diri? Paradoksi.
Terakhir, berdoa adalah kata purba namun tidak diragukan efektivitasnya dari sudut pandang Tuhan. Untuk itu, mari selalu berdoa secara sungguh-sungguh untuk daerah-daerah yang menghadapi pilkada dan untuk calon pemimpin kita.

Pro Bono Publico,
Johnson Steffan.D.

25 Juni 2008

Persaudaraan

Ketika saya masih SD, ada seorang perantau yang selalu diizinkan ibu saya untuk memakai ruang di lantai dua, di rumah kami. Ia berada di sana hanya beberapa saat lalu ia turun lagi. Saya bertanya kepada ibuku, “Ngapain dia di atas?" Kata ibuku, "Solat". Karena tak pernah mendengar kata itu (maklum di kampungku tak ada orang muslim), saya bertanya lagi kepada ibu, "Apa itu Solat?" Kata Ibuku, "Berdoa". Lalu ibuku menambahkan, "Terimalah dengan baik semua perantau karena suatu saat kamu akan menjadi perantau."

Belasan tahun kemudian, saya menjadi perantau dan banyak dibantu oleh orang muslim: saya bisa bekerja antara lain karena difasilitasi oleh seorang muslim, saya mendapat tempat tinggal karena seorang haji, saya menikah dibantu oleh seorang muslim (sahabatku), pekerjaan saya banyak didukung oleh orang muslim dan masih banyak kenyataan luar biasa lain.

Oh…. Indahnya rahmat persaudaraan……

dalam keheningan,
Johnson Steffan. D.

20 Juni 2008

Ikan Besar


Panjang ikan ini: kira-kira 160 cm dan berat kira-kira 37 kg. Ikan besar ini (saya tak tahu namanya) ditangkap oleh nelayan di salah satu pantai di Tarakan - Kal.Tim.

19 Juni 2008

Penerima Suap Dan Penerima BLT


Penerima Suap (Pejabat) dan Penerima BLT (Kaum Miskin)

Ada dua realitas kontradiktif yang menjadi berita utama media cetak dan elektronik negeri ini: melimpahnya penerima bantuan langsung tunai (BLT) di satu pihak dan penerima suap di sisi lain. Yang satu digolongkan miskin, sementara yang lain tergolong strata teras negeri. Tanpa mendahului keputusan hakim di pengadilan, negeri ini tak bisa ingkar dari kenyataan pejabat yang menerima suap. Perkembangan sebagian penegak hukum kita belum ditandai oleh tujuan keadilan dalam praksisnya. Perilaku para penggembala hukum banyak menghayati ketidakadilan dalam masa kekuasaannya.
Di samping tingkah menerima suap punggawa hukum itu, terdapat kenyataan lain yang memilukan, yakni para penerima BLT. Kaum miskin yang berhak atas uang tadi namu justrun dipermainkan oleh mereka yang disebut para pengawal hukum. Ah, suatu kenyataan yang amat pahit. Kaum miskin memang lebih banyak dijadikan obyek oleh penguasa (entah saat kampanye maupun saat berkuasa). Bisa saja, mereka jadi obyek penelitian kaum intelektual untuk skripsi/tesisnya semata tanpa terus mendampingi dan mengembangkan mereka. Tragis.
Kiranya kita perlu bertanya, apa yang bisa menghubungkan penerima suap dan penerima BLT? Solidaritas. Semangat solidaritas itulah yang memudar dalam diri sang penerima suap. Oleh sebab itu, para pejabat perlu menghidupkan kembali semangat tersebut dalam dirinya. Solidaritas akan membawa konsekwensi positif dalam seluruh kebijakan dan pola bersikap para pejabat. Konsekwensi yang dimaksud antara lain pejabat akan berdiri bersama dengan orang lain, terutama masyarakat miskin; Kebijakan-kebijakan yang diambil akan menggambarkan semangat solider terutama kepada kaum miskin yang melimpah di negeri ini; Uang Negara akan berusaha dicari, jika dicuri oknum tertentu; Suap menjadi tabu untuk dihayati, apalagi dijalani, mengingat kaum miskin yang lebih berhak menerimanya. Intinya: mencari keuntungan diri sendiri akan dijauhkan.
Menurut Erich Fromm, kecenderungan mencari keuntungan untuk diri sendiri disebut sebagai orientasi menimbun. Dalam orientasi seperti itu manusia menjadi budak materi sehingga menjadikannya asing sebagai manusia. Manusia menimbun adalah manusia yang terbelenggu oleh egosentrisme yang merugikan baik bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. Hakikat sosial dan kenyamanan diri yang paling dalam terganggu, bahkan mengerdil. Dalam mengembangkan diri, manusia memang harus bersama dengan orang lain/masyarakat, terutama kaum miskin. Mengapa? Karena bersama orang lain, manusia akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Mau bukti? Bersamalah selalu dengan kaum miskin.
In Solidarity,
Johnson Steffan. D.