26 Oktober 2008

Si Seksi Yang Menjadi Hamba

Kapan kita berfilsafat? Setiap hari, terutama saat kita sedang berdiskusi tentang gagasan-gagasan fundamental kehidupan, antar lain saat diskursus tentang ketuhanan, dialog mengenai kehidupan setelah kematian raga, dan berbicara tema universalitas keselamatan, berdiskusi tentang moralitas dst. Di dalam dialog, kita akan berjumpa dengan perbedaan pandangan, namun ada pula kesamaan paham. Berbeda, karena horizon yang terberi sebagai fragmen. Sama, karena horizon universal yang terberi pula.
Semuanya membentuk harmoni indah sebagai salah satu karakter ketimuran yang sejak kekal ada dalam diri kita. Karakteristik tersebut kian mencuat karena kita terbuka satu dengan yang lain. Suatu keterbukaan yang memungkinkan pihak lain masuk ke dalam diri kita. Keterbukaan yang juga mengandaikan “perselisihan” satu dengan yang lain. Perselisihan sebagai ritme natural. Ketika ada “alien” memasuki diri kita maka pada waktu itu kita berselisih. Saat terjadi perselisihan, saat itulah perbedaan sedang tersenyum. Manakala senyuman sang beda dihadapi dengan senyuman maka pada masa yang sama kebhinekaan dinikmati.
Filsafat memang nikmat. Siapapun kita dan apapun latar belakang kita: hari-hari ini, kita sedang menikmati “si seksi filsafat”. Kita semua adalah filsuf karena kita telah masuk ke dalam pesona filsafat. Ya, kita telah berfilsafat. Satu dari sekian ciri filsafat adalah berbicara mengenai realitas fundamental. Dan, filsafat bukanlah tujuan, ia hanya hamba untuk kenyataan fundamental. Ya, si seksi ini memang cuma hamba. Namun, hamba yang satu ini bertugas untuk memperjelas dan mempertajam kesadaran kita terhadap dan di dalam realitas.
Salam dan Hormatku,
Johnson Steffan. D.

Tidak ada komentar: